Selasa, 25 Oktober 2011

NELAYAN PANCING RUMPON: SUMBER EKONOMI DAN PEMASARAN HT


    

1.PROSES PEMINJAMAN DAN PEMBAYARAN MODAL KE TENGKULAK UNTUK NELAYAN PANCING/RUMPON

Transaksi jual beli ikan di PPN Palabuhanratu saat pelelangan tidak berlangsung selama 5 tahun (2005-2010) melibatkan (1)nelayan, juragan perahu, juragan kepala; (2) bakul ikan/pedagang; (3) tengkulak/pengijon. Dalam banyak kasus di lapangan, hubungan jual-beli ikan antara para nelayan dan bakul atau pedagang sering bersifat “mengikat”, daripada atas dasar “sukarela”. Hal ini terjadi, karena para nelayan tersebut secara rutin dan berkesinambungan mendapatkan “uang pengikat” (ijon) dari para bakul ikan. Terjadinya ijon ikan hasil tangkapan kepada nelayan memang telah terjadi tahun-tahun sebelumnya, namun praktikjual beli dengan cara ijon berkembang pesat saat pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu tidak berlangsung. Pedagang ikan, pengusaha pengolahan mengalami kesulitan untuk membeli ikan karena tidak adanya penjualan ikan yang terpusat seperti pelelangan. Sehingga mereka (pedagang ikan, pengusaha ikan, pengusaha pengolahan) melakukan ijon kepada nelayan untuk memudahkan mereka mendapatkan ikan hasil tangkapan.
Uang ijon tersebut merupakan “uang muka” dari bakul ikan kepada para nelayan. Pemberian uang tersebut tujuannya tidak lain adalah agar para nelayan menyerahkan atau menjual ikan kepada si bakul ikan. Menjadi “kewajiban” atau “keharusan” bagi para nelayan penerima uang tadi untuk menjual atau menyerahkan sebagian atau seluruh ikan hasil tangkapannya (sesuai dengan kesepakatan) kepada bakul pengijon yang telah memberinya uang. Kebiasaan memberikan uang ijon ini, dalam banyak hal telah menjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak. Relasi dan praktik jual-beli yang demikian ini telah menjadi pola umum dalam hampir setiap relasi dan jaringan perdagangan ikan yang berlaku di nelayan PPN Palabuhanratu termasuk juga pada nelayan pancing tonda (nelayan rumpon).
Pola jual-beli ikan dengan sistem ijon tersebut memang tidak selalu merugikan pihak nelayan, walaupun sebenarnya uang yang dibayarkan saat itu juga, atau beberapa hari setelah ikan hasil tangkapan didaratkan, oleh para bakul pengijon kepada mereka tidak pernah sama, bahkan lebih rendah dari harga jual riil ikan seandainya dijual langsung di pasar lokal. Artinya, para nelayan tersebut akan menerima uang hasil pembelian ikan dari bakul pengijon ‘senantiasa kurang’ dari harga jual ikan di pasaran. Sistem pemberian hasil penjualan “di bawah harga” tersebut berlaku umum atau sama untuk seluruh bakul pengijon. Dalam hal ini, tidak ada permainan harga jual antara bakul pengijon yang satu dengan bakul pengijon yang lain; sehingga jumlah uang yang diterima oleh para nelayan dan juragan kepala dari para bakul siapapun dia setiap orang adalah setara, tidak ada perbedaan. Bagi bakul pengijon sendiri, dengan adanya uang pengikat ini, selain dia dapat menjual harga sesuai dengan keadaan pasar dan jenis ikan yang dijual, dari hasil penjualan ikannya itu dia juga masih mendapatkan keuntungan, yang diperoleh dari selisih antara uang yang diberikan kepada para nelayan dengan uang yang sebenarnya diperoleh dari hasil penjualan ikan tadi.
Kecenderungan para nelayan untuk menjual ikan kepada bakul pengijon yang telah “mengikatnya dengan uang ijon lebih disebabkan pada pertimbangan kecepatan dan kemudahan menjual ikan serta memperoleh uang, atau hal-hal praktis lainnya daripada semata-mata pertimbangan bisnis-ekonomi yang berorientasi pada mencari untung sebesar-besarnya. Sebab saat itu pelelangan ikan sedang tidak berlangsung. Proses peminjaman dana operasional melaut yang mudah seperti tidak ada agunan dan syarat administrasi perbankan lainnya membuat bakul pengijon menjadi lembaga keuangan nonformal yang sangat diminati oleh nelayan. Peminjaman modal operasional untuk nelayan rumpon oleh bakul pengijon diberikan dalam bentuk uang tunai dengan jumlah berbeda tergantung pada kekurangan nelayan saat akan melakukan operasi penangkapan ikan.
Hal lain yang menjadi daya tarik dari para nelayan melakukan praktik ijon adalah karena mereka akan mendapatkan fasilitas tambahan dari para bakul ikan, yaitu kemudahan untuk mendapatkan hutang atau pinjaman uang dari para bakul rekanannya; apakah untuk keperluan modal usaha rumah tangga atau pun untuk keperluan keluarga yang lain, yang bagi mereka mungkin tidaklah mudah diperoleh dari orang lain. Para nelayan itu pun secara rutin masih mendapatkan barang-barang lain seperti rokok (ketika dia istirahat, atau tidak melaut) atau terkadang bantuan memperbaiki alat tangkap yang rusak.
Selain peminjaman yang mudah, seperti diungkapkan diatas, proses pembayarannya juga tidaklah sulit. Proses pembayaran atau besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membayar utang nelayan kepada bakul pengijon tergantung kesepakatan. Cara pembayaran utang nelayan kepada bakul pengijon dilakukan dengan cara bakul pengijon memotong hasil penjualan ikan. namun, karena harga beli nelayan ke bakul pengijon rendah, maka uang hasil penjualan ikan yang diperoleh nelayan selalu lebih kecil jika menjual ikan hasil tangkapan ke pasar (konsumen) langsung. Keadaan ini menyebabkan nelayan akan selalu membutuhkan bakul pengijon sebagai sumber modal operasional melautnya hingga kemudian utangnya menumpuk dan sulit untuk dibayar/dilunasi. Seorang nelayan rumpon menyatakan bahwa   dirinya tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah sisa utang yang harus dibayarkan kepada bakul pengijon karena setiap akan melaut hampir selalu meminjam uang kepada pengijon meskipun dalam jumlah yang berbeda.

Berikut adalah pola pembayaran utang pinjaman nelayan:
Nelayan (menyerahkan/menjual ikan HT kepada bakul pengijon dengan harga yang rendah) è Bakul pengijon (menjual ikan hasil tangkapannya kepada pedagang eceran atau konsumen langsung dengan harga jual yang sangat tinggi dari harga beli).

Nelayan akan menerima uang hasil penjualan ikan ke bakul pengijon dalam tiga atau beberapa hari (tergantung besar pinjaman dan kesepakatan antara nelayan dan bakul pengijon) setelah nelayan “menyerahkan” ikan HT nya kepada bakul pengijon setelah dipotong untuk pembayaran utang. 
Saat pembayaran nelayan hanya diberitahu jumlah ikan hasil tangkapan dan harga ikan yang ditawarkan oleh bakul pengijon.
Berikut ini adalah siklus dimana nelayan selalu terikat dengan nelayan dan sulit untuk diurai. 



 
  

  1. Modal nelayan yang kecil menyebabkan ada peran tengkulak dalam penyediaan modal. Pada kehidupan sehari-hari tengkulak juga bisa dimanfaatkan sebagai “bank” bagi nelayan untuk meminjam uang saat ada kebutuhan sehari-hari. 
  2. Nelayan di PPN Palabuhanratu pada umumnya memiliki kapal dengan ukuran 20-30 GT. Ukurankapal yang relatif kecil menyebabkan nelayan seringkali hanya melakukan penangkapan sejauh 10-12 mill. Jarak ini tentu masih tergolong berada disekitar “mulut” teluk Palabuhanratu. Dengan sumberdaya ikan yang semakin menipis dan operasi penangkapan yang terbatas oleh kondisi GT kapal yang kecil menyebabkan hasil tangkapan yangdiperoleh sedikit.
  3. Ketika HT didaratkan nelayan berada pada posisi tawar yang rendah karena tidak ada pelelangan. nelayan menghadapi pasar yang tdk menguntungkan bagi nelayan. Hal ini menyebabkan nelayan tidak memiliki daya tawar yang kuat sehingga harga jual ikan HT rendah. Hal ini ditambah oleh keberadaan tengkulak sebagai pembeli wajib bagi nelayan yang meminjam modal pada tengkulak. 
  4. Dengan daya tawar yang rendah disertai dengan harga jual HT yang rendah menyebabkan pendapata nelayan juga rendah.
  5. Dengan pendapatan yang rendah, ditambah dengan pola hidup konsumtif masyarakat pesisir (khususnya nelayan) menyebabkan nelayan memiliki pendapatan yang pas-pasan dan pada umumnya nelayan tidak memiliki tabungan/modal (capital). Hal ini menyebabkan modal melaut rendah dan ketika akan melakukan operasi penangkapan nelayan harus meminjam kepada tengkulak untuk menambah kekurangannya.

2.    WILAYAH PENANGKAPAN PANCING TONDA (PANCING RUMPON) DAN GILLNET
Di PPN Palabuhanratu terjadi penurunan armada penangkapan yaitu pada armada penangkapan Gillnet dan Payang. Berdasarkan pengamatan dilapangan, menurunnya kedua armada tersebut disebabkan oleh jumlah ikan hasil tangkapan yang menurun sedangkan kedua armada tersebut memiliki ABK yang sangat banyak dimana gillnet pada umumnya berjumlah 6-8 orang dan payang berjumlah 10-12 orang setiap kali melakukan operasi penangkapan. Menurunnya hasil tangkapan nelayan menurut Kepala TPI disebabkan oleh “tertahannya” ikan di rumpon. Ikan yang biasanya beruaya ke arah teluk palabuhanratu yang sehingga memudahkan bagi armada gillnet maupun payang untuk melakukan penangkapan.
Armada payang dan gillnet memiliki kapal yang relatif kecil yaitu beukuran 15-20 GT sehingga ketika terjadi ombak setinggi 3-4 meter nelayan memutuskan untuk tidak melakukan penangkapan. Dengan ukuran kapal yang relatif kecil tersebut, menyebabkan wilayah operasi penangkapan menjadi terbatas. Nelayan gillnet menyatakan bahwa jaringnya pernah dipotong karena tanpa sengaja memasuki wilayah rumpon. Bahkan menurut kepala TPI, pada akhir bulan Februari terjadi konflik antara nelayan rumpon dengan nelayan purse seine karena menangkap hasil tangkapan diwilayah rumpon.
Keberadaan rumpon di teluk Palabuhanratu selain menyebabkan armada pancing tonda berkembang pesat, dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang lebih terjamin dan harga jual ikan HT yang relatif tinggi menyebabkan banyak armada gillnet dan payang beralih mengoperasikan pancing tonda yang memanfaatkan keberadaan rumpon. Hal ini menyebabkan armada gillnet dan payang semakin menurun dari tahun ke tahun.
1.    PROSES PELELANGAN YANG UNIK (MASIH ADA KETERLIBATAN NELAYAN)

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu didirikan pada tahun 1993. Pembangunan pelabuhan ini bertujuan sebagai tempat tambat labuh nelayan yang mempunyai fishing ground di Samudera Hindia, dan agar nelayan bisa memasarkan hasil tangkapannya. Sejak pertama kali dibangun, pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu adalah pemasaran dengan sistem pelelangan. Pada saat itu pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu dikelola oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. Namun, proses pelelangan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi hanya berlangsung selama 10 tahun.
Pada tahun 1997 saat krisis multidimensional melanda Indonesia, pemerintah melalui menteri Pertanian dan Menteri koperasi dan pemberdayaan industri kecil mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No.132 tahun 1997, 902/Kpts/3/SKB/…../IX/1997 mengenai pelelangan ikan yang tercantum dalam Bab II pasal 4 ayat 2 yang berbunyi: ‘Kepala daerah menunjuk KUD sebagai penyelenggara pelelangan ikan setelah memenuhi syarat’ (Dinas Perikanan Propinsi DKI Jakarta), serta didukung oleh Perda Jabar No.5 tahun 2005 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan (Dinas Perikanan Propinsi Jabar). Implementasi dari kebijakan tersebut adalah hampir semua Tempat Pelelangan (TPI) termasuk di PPN Palabuhanratu dikelola oleh KUD Mina. Pada Perda Jabar No.5 Tahun 2005, tercantum mengenai izin penyelenggaraan pelelangan ikan. Isi dari Perda ini mempertegas dari SKB No.132 Tahun 1997. Dalam Perda Jabar No.5 Tahun 2005 dijelaskan tentang izin penyelenggaraan pelelangan ikan pada Bab III Pasal 5 dimana penyelenggaraan pelelangan ikan harus memiliki izin Gubernur. Izin tersebut diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat yaitu memiliki kekuatan ekonomi yang baik. Selanjutnya dalam Perda Jabar tersebut dijelaskan kembali jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota.
Adapun alasan dibalik keluarnya SKB tersebut, menurut Baga (2010) tersebut adalah untuk memberdayakan Koperasi Unit Desa Mina (KUD Mina) yang tengah kehilangan citra positif di mata masyarakat. Koperasi juga mengalami masa-masa kritis dimana kepercayaan dari masyarakat sudah mulai hilang secara perlahan. Selain itu, koperasi juga mengalami kesulitan dalam pendanaan operasional kegiatan koperasi akibat unit usahanya yang mulai ‘gulung tikar’. Untuk memberdayakan kembali koperasi, pemerintah berinisiatif untuk ‘menyerahkan’ pengelolaan pelelangan ikan kepada koperasi sebagai unit usahanya, karena koperasi dianggap merupakan lembaga yang gerakannya berasal dari bawah (masyarakat) dan dianggap mampu untuk menyelenggarakan pelelangan. Menurut Baga (2010) keputusan pemerintah untuk menyerahkan tanggung jawab pelelangan ikan kepada koperasi terlalu terburu-buru, karena pada saat itu koperasi sebagai sebuah organisasi berada dalam keadaan yang tidak baik. Selain itu, koperasi yang ada pada saat itu merupakan koperasi yang dibentuk oleh pemerintah (top-down) bukan hasil dari gerakan sosial-ekonomi masayarakat. Sehingga, koperasi yang ada bersifat tidak aspiratif.
Kondisi koperasi yang seperti diatas bisa dilihat dari pernyataan koresponden nelayan dan pedagang ikan yang ada disekitar Palabuhanaratu yang menganggap koperasi hanyalah sebuah nama saja tanpa mengetahui ada kegiatan dan manfaat bagi mereka. Hal ini menyebabkan pelelangan ikan yang ada di Palabuhanratu tidak berjalan sejak dikelola oleh KUD Mina Mandiri Sinar Laut pada tahun 2000 sampai sekarang. Menurut pihak PPN Palabuhanratu, pelelangan yang ada di TPI PPN Palabuhanratu sejak dipegang oleh KUD Mina hanya berpura-pura mengadakan pelelangan, karena pembeli sudah ditentukan sebelum pelelangan dimulai.
Sampai saat ini pelelangan ikan belum terlaksana kembali, meskipun sesekali dilakukan pelelangan dan retribusi pelelangan ikan tetap diberlakukan. Bahkan pada tahun 2007 mencapai nilai raman yang tinggi sepanjang sejarah TPI PPN Palabuhanratu yaitu sebesar 1,3 miliar rupiah dan pada tahun tersebut, belum juga ada pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan wawancara dengan kepala Cabang Dinas Perikanan yang menangani pelelangan ikan menyatakan bahwa tidak berfungsinya TPI di PPN Palabuhanratu disebabkan oleh beberapa aspek, diantaranya:
1.    Aspek Regulasi :
1)   Kerjasama dalam penegakan aturan masih belum tercapai karena kurangnya dukungan pihak terkait.
2)   Belum ada kejelasan mengenai aturan-aturan untuk ikan yang tidak diperkenankan untuk dilelang.
2.    Aspek Sosial :
1)   Kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pelelangan ikan masih rendah, pola pikir seperti inilah yang harus diubah.
2)   Adanya multifungsi usaha/multifungsi profesi sehingga menyulitkan peran seseorang dalam aktivitas lelang. Contoh : pengusaha (pemilik kapal) di palabuhanratu biasanya merangkap sebagai bakul.
3)   Adanya sistem ‘langgan’ yang sulit untuk diubah. Sistem langgan ini biasanya terjadi ketika nelayan tidak memiliki modal untuk melaut maka mereka akan meminjam uang kepada juragan, sehingga hasil tangkapan nelayan harus diserahkan sepenuhnya kepada juragan tersebut.
3.    Aspek teknis :  tata letak areal bongkar yang tidak sesuai. Saat ini dermaga untuk area bongkar digunakan kapal untuk bersandar akibat kolam pelabuhan yang telah overcapacity.

Penyebab pelelangan sebagaimana disebutkan oleh Kepala Cabang Dinas diatas dapat terjadi karena adanya perpindahan pengelolaan TPI dari Dinas Perikanan ke KUD Mina. Menurut pengelola TPI, pergantian pengelola ini menyebabkan adanya perbedaan pengelolaan pelelangan. Saat dikelola oleh Dinas Perikanan, Kepala TPI bertindak tegas terhadap pelaku pelelangan jika terjadi pelanggaran,  hal berbeda dilakukan oleh pengelola KUD sebagai Kepala TPI yang kurang tegas dalam bertindak sehingga ketiga aspek tersebut bisa muncul. Penyebab lainnya adalah karena pengelola KUD tidak mengerti benar Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat mengenai pelelangan. Sehingga ada beberapa ikan hasil tangkapan yang tidak dilelang. Keadaan ini tidak disertai dengan komunikasi yang baik antara pengelola TPI dengan pelaku pelelangan, sehingga muncul masalah sebagaimana disebutkan oleh Kepala Cabang Dinas  diatas.
Pada bulan Juni, pihak Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan pertemuan dengan pihak nelayan, bakul, pedagang dan juga KUD Mina Mandiri Sinar Laut. Dari hasil pertemuan tersebut diperoleh keputusan bahwa pelelangan harus kembali dilaksanakan dan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di PPN Palabuhanratu harus dikelola oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. Nelayan meminta supaya pengelolaan pelelangan kembali dilaksanakan seperti sebelum dikelola oleh KUD Mina. Maka Pada tanggal 1 Juli 2011, pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu kembali dilaksanakan.
Pelelangan ikan merupakan suatu kegiatan dimana penjual dan pembeli bertemu dalam satu tempat (gedung TPI), didalamnya terjadi proses tawar-menawar harga ikan sehingga diperoleh harga yang mereka sepakati bersama. Pembeli akan memberikan penawaran yang lebih tinggi terhadap ikan yang memiliki kualitas lebih baik.
 Pelelangan ikan diatur pertama kali dalam Peraturan Pemerintah No.64/1957 tentang penyerahan sebagian dari urusan pemerintah pusat di lapangan perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada daerah-daerah swatantra tingkat I. Untuk daerah Jawa Barat, berlaku Peraturan Daerah Propinsi Dati Jawa Barat No 15/1984 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang. Peraturan ini kemudian direvisi sehingga keluar Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 Tentang: Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan.

Mekanisme pelelangan ikan
Setelah hasil tangkapan mengalami proses pendaratan dan penyortiran berdasarkan jenis, ukuran dan mutu secara relatif, kemudian dibawa menuju gedung TPI untuk dilelang. Peserta pelelangan, seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005, diikuti oleh beberapa pihak, diantaranya nelayan pemilik, pengusaha ikan, dan bakul. Berdasarkan peraturan daerah tersebut, tentang penyelenggaraan pelelangan, pada Bab III Pasal 5  dinyatakan bahwa pelaksanaan pelelangan ikan diselenggarakan oleh KUD Mina yang memenuhi syarat. Sebelum tahun 2000, penyelenggara/pengelola pelelangan ikan di TPI dipegang oleh Dinas Perikanan daerah setempat, sampai tahun 1999 sebelum kemudian dialihkan ke KUD Mina.
Dalam pelaksanaan pelelangan, terdapat beberapa tata tertib yang harus dipatuhi. Tata tertib ini mengatur keberlangsungan pelelangan. Adapun tata tertib yang harus ditaati adalah sebagai berikut:
1)        Kapal perikanan yang mendarat atau membongkar hasil tangkapannya diwajibkan:
a.       Melaporkan kedatangannya ke tim terpadu.
b.      Meminta nomor urut pelelangan.
2)        Pembongkaran dan pemuatan ikan dilakukan oleh awak kapal.
3)        Tempat/wadah ikan yang akan dilelang adalah trays milik TPI PPN Palabuhanratu.
4)        Pengangkutan ikan dari bibir dermaga ke lantai pelelangan dilaksanakan oleh TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) dalam hal ini masih dilaksanakan oleh pegawai TPI.
5)        Pelaksanaan pelelangan hanya untuk:
a.       Petugas.
b.      Nelayan.
c.       Peserta lelang.
6)        Peserta lelang yang berhak mengikuti adalah peserta lelang yang menyimpan uang jaminan.
7)      Jumlah hasil lelang tidak diperkenankan melebihi jumlah uang yang dijaminkan.
8)      Peserta lelang yang akan mengangkut ikan hasil lelang ke luar lokasi TPI harus memperlihatkan tanda bukti pembayaran kepada petugas.

Dalam suatu kegiatan pelelangan, terdapat pelaku-pelaku sebagai berikut: (1) Juru lelang yang bertugas melelang ikan hasil tangkapan nelayan; (2) Juru catat yang bertugas mendampingi juru lelang dan mencatat setiap transaksi yang dihasilkan; (3) Juru timbang yang bertugas menimbang ikan yang akan dilelang; (4) Nelayan selaku penjual ikan; dan (5) Pembeli ikan.
Adapun tahapan yang harus dijalani dalam proses pelelangan ikan adalah sebagai berikut:
1)        Ikan hasil tangkapan yang didaratkan ditimbang terlebih dahulu dalam satu trays oleh juru timbang dan diberi label yang berisi data tentang nama kapal, berat ikan dan jenis ikan.
2)        Pembeli ikan/bakul yang ingin ikut dalam lelang harus menyimpan uang jaminan kepada juru karcis. Uang yang disimpan paling sedikit Rp. 500.000,00.
3)        Juru karcis memberikan identitas kepada penyimpan uang kepada juru lelang. Identitas yang diberikan mempunyai tiga kategori yaitu Merah, Kuning dan Biru.
a)      Merah = uang jaminan 500.000 – 1.000.000
b)      Kuning = uang jaminan 1.000.000-2.000.000
c)      Biru = uang jaminan lebih dari 2.000.000
4)        Ikan dilelang sesuai jenis ikan dan pelelangan dilakukan secara terbuka dengan kebebasan dalam persaingan harga. Pembeli/bakul yang berani menawar dengan harga tertinggi, maka akan memenangkan lelang.
5)        Setelah ikan terjual, juru lelang memberikan laporan kepada juru karcis.
6)        Bakul membayar tagihan kepada juru karcis dengan nilai: Nilai lelang + (3% x Nilai Lelang)- uang jaminan.
7)        Nelayan mengambil uang hasil penjualan ikan ke juru karcis dengan jumlah: Nilai lelang – (2%x nilai lelang).

Di PPN Palabuhanratu, kegiatan pelelangan ikan hasil tangkapan dilakukan pada pagi hari, saat matahari belum bersinar dengan terik, dengan alasan bahwa ikan akan mengalami penurunan mutu yang cepat jika terkena sinar matahari langsung. Pada kenyataannya, kapal yang mendaratkan ikan hasil tangkapan pada siang hari maupun sore hari, tetap dilayani oleh petugas TPI. Maka dapat dikatakan bahwa pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu berlangsung setiap kali kapal datang mendaratkan ikan hasil tangkapannya.  
      Dalam proses lelang, petugas pelelangan bertindak sebagai penengah antara pembeli (pedagang) dan penjual (nelayan) dengan sistem penawaran meningkat. Harga penawaran diajukan pertama kali oleh juru lelang berdasarkan harga pasar saat itu. Melalui persetujuan nelayan, juru lelang terus menaikkan harga ikan yang dilelang. Seringkali nelayan memberikan harga yang tidak bisa dijangkau oleh pembeli. Hal ini dimaksudkan agar ikan HT nya tidak terjual selain kepada tengkulak/pengijon/bakul yang telah memberikan modal operasional melautnya. Hal ini disadari oleh Kepala TPI bahwa pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu masih bersifat opow dimana hasil tangkapan banyak yang tidak terjual kepada pedagang (pembeli) tetapi HT kembali kepada nelayan.
 


4.    PEMILIK MODAL/TENGKULAK NELAYAN

Tengkulak di wilayah PPN Palabuhanratu lebih dikenal dengan nama pengijon. Tengkulak ini merupakan suatu lembaga non-formal yang menyediakan uang pinjaman bagi nelayan ditengah sulitnya akses nelayan terhadap lembaga ekonomi  formal seperti perbankan. Tengkulak atau pengijon ini bukan satu satunya penyedia pinjman modal atau yang melakukan ijon terhadap nelayan di PPN Palabuhanratu. Bakul ikan yang bertindak sebagai pengumpul di PPN Palabuhanratu juga sering melakukan ijon dan meminjamkan uang terhadap nelayan. Maka tengkulak di PPN Palabuhanratu biasa disebut juga bakul atau bakul pengijon. Mereka (tengkulak) melakukan pendekatan sosial ( social approach ). Mereka dapat memberikan pinjaman tanpa kolateral (agunan) kepada para nelayan kapan pun mereka butuhkan. Tentu, dengan harapan agar mereka tetap terikat dan tidak lari kepada tengkulak lain. Sebenarnya tengkulak memiliki asosiasi sendiri yang menjadikannya sebagai lembaga formal. Pada Agustus 2008 lalu, Wapres Jusuf Kalla ketika itu setuju dengan usulan dibentuknya Asosiasi Punggawa Nasional (APN) yang dipimpin oleh Bupati Rembang, M Salim.

Tengkulak yang ada di PPN Palabuhanratu menurut pernyataan Staff Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi bukanlah tengkulak yang memiliki modal. Mereka (tengkulak) mendapatkan modal dengan cara berhutang atau menjadi wakil dari tengkulak yang benar-benar memiliki modal. Tangkulak yang benar-benar memiliki modal ini adalah perusahaan pengolahan ikan, perusahaan pengekspor ikan ataupun distributor ikan. Sebagai contoh PT.AGB di Palabuhanratu membeli ikan kepada nelayan pancing rawai layur dengan cara praktek ijon.


1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus