Rabu, 26 Oktober 2011

Faktor-Faktor Penyebab Tidak Berjalannya Aktivitas Lelang Ikan

Oleh: HENDRI DWIYANTI
(Dibawah bimbingan Dr.Ir. Ernani Lubi, DEA & Dr. Ir. Wawan Oktariza, M.Si)
          
 Pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu belum berjalan optimal, untuk mengetahui penyebab tidak berjalannya aktivitas pelelangan ikan hal dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu
  • Aspek sumberdaya manusia/sosial
            Penyebab tidak berjalannya aktivitas lelang ikan ditinjau dari aspek sumberdaya manusia/sosial yang terdiri dari para pedagang/bakul (6 orang), pengelola PPN Palabuhanratu (2 orang), nelayan (15 orang), pengurus KUD (2 orang), pengurus TPI (2 orang), dan pengurus Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2 orang).
            Pengamatan dan hasil wawancara selama di lapangan menunjukkan bahwa tidak berjalannya aktivitas lelang di TPI PPN Palabuhanratu merupakan isu permasalahan nasional yang cukup komplek.  Hal ini dikarenakan permasalahan mengenai pelelangan bukan hanya kepentingan satu kelompok saja melainkan kepentingan banyak pihak yang harus didukung oleh semua unsur dan peran serta masyarakat sebagai pelaku pelelangan.  Daerah pesisir dengan setiap karakteristik wilayah topografi yang terdapat pelabuhan perikanan maupun pangkalan pendaratan ikan akan memiliki ciri dan karakteristik sosial budaya masyarakat perikanan yang berbeda pula.
            Umumnya daerah pesisir yang terdapat pelabuhan perikanan maupun pangkalan pendaratan ikan memiliki tempat pelelangan ikan sebagai basic nelayan untuk mendaratkan dan menjual hasil tangkapannya melalui sistem lelang. Peristiwa semacam ini dapat kita jumpai pada TPI di PPP Juwana Pati, PPN Pekalongan, PPP Muara Angke dan PPP Subang.  Lain lagi halnya dengan yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu.  Lelang yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu bukan lelang hasil tangkapan nelayan melainkan lelang dari bakul.  Artinya bahwa sistem lelang hasil tangkapan nelayan yang disampaikan melalui lisan secara terbuka di depan umum kerap tidak dapat kita jumpai, hal ini dikarenakan ikan hasil tangkapan nelayan langsung masuk dan ditangani oleh para bakul sebagai pemilik modal.  Nelayan hanya mengurusi dan menangani proses penangkapan ikan selama di laut hingga ikan didaratkan di dermaga, untuk selanjutnya ikan akan ditangani oleh para bakul. 
            Setelah ikan diserahkan ke bakul, maka ikan pun akan dilelang.  Kendala lainnya adalah seringkali para bakul sebagai peserta lelang menunggak pembayaran atas harga nilai transaksi ditambah dengan pungutan retribusi sebesar 3%.  Bahkan tidak jarang mereka melakukan transaksi yang melebihi batas kemampuan uang jaminan, padahal hal tersebut tidak diperkenankan.  Sebagai sanksinya maka pihak pengelola TPI berhak untuk melakukan teguran bahkan melarang peserta lelang tersebut untuk mengikuti lelang selanjutnya.
            Penunggakan dari para bakul peserta lelang itulah yang justru dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan proses lelang yang ada. Karena adanya tunggakan maka sebagai gantinya pengelola TPI terpaksa menggunakan dana kas cadangan sebagai pembayaran atas harga nilai transaksi kepada para nelayan karena pembayaran kepada nelayan harus diserahkan langsung setelah proses lelang selesai.  Dana hasil retribusi inilah yang digunakan untuk pembayaran biaya pembangunan dan penyediaan sarana TPI, biaya operasional TPI serta biaya lelang.  Seandainya itu hanya terjadi pada satu bakul/tengkulak saja mungkin masih bisa diatasi, tetapi apabila itu merupakan kebiasaan yang terjadi dikalangan bakul maka tentu saja hal tersebut membawa implikasi yang buruk karena secara otomatis KUD Mina akan mengalami permasalahan modal yang mengalami penurunan drastis. Padahal dana kas cadangan tersebut hanya bisa digunakan sewaktu-waktu saja.                  
            Permasalahan lain disebabkan karena kesadaran masyrakat perikanan akan arti pentingnya pelelangan masih rendah, mereka berfikir bahwa dengan mengikuti sistem penjualan secara lelang maka akan terjadi banyak pungutan sebagai pembayaran retribusi lelang.  Harga ikan hasil penjualan melalui lelang yang akan dibayarkan kepada nelayan akan dipotong sebesar 2% dari nilai transaksi dan akan digunakan sebagai dana-dana nelayan seperti tabungan nelayan, asuransi nelayan, dana paceklik, dan dana sosial (penanggulangan darurat kecelakaan dilaut). Hal inilah yang menimbulkan pro dan kontra masyarakat perikanan akan arti pentingnya pelelangan. Bagi nelayan dengan hasil tangkapan ekonomis rendah dan jumlah produksi yang relatif kecil mereka merasa apabila menjual ikan melalui lelang maka akan mengalami kerugian karena harus mengalami potongan.  Sehingga, sebagai solusinya mereka cenderung memilih menjual ikan langsung kepada para bakul/tengkulak walaupun mereka berada pada bargaining position yang lemah.   
            Penyebab lain adalah adanya multifungsi peran dan multifungsi profesi sehingga menyulitkan peran seseorang dalam sistem pelelangan.  Multifungsi peran ini dapat diketahui berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara di lapangan.  Mayoritas dari beberapa orang yang berprofesi sebagai pengusaha pemilik kapal mereka juga merangkap sebagai bakul.  Kebiasaan lain dalam masyarakat perikanan Palabuhanratu dan sulit diubah adalah sistem langgan yang sudah mendarah daging.  Biasanya sistem langgan ini terjadi ketika nelayan tidak memiliki modal untuk melaut sehingga keadaan tersebut memaksa mereka untuk meminjam uang kepada para bakul/juragan, sebagai bentuk timbal baliknya maka nelayan harus menjual ikan hasil tangkapannya kepada bakul.juragan tersebut.
            Kurangnya modal tersebut berdampak pada kinerja operasional  kelembagaan KUD Mina Mandiri Sinar Laut sebagai pelaksana pelelangan ikan.  Selain itu, Manajemen kelembagaan KUD Mina Mandiri Sinar yang lemah semakin membuat masyarakat nelayan kurang tertarik untuk menyalurkan dan menjual hasil tangkapannya melalui proses pelelangan.    
  • Aspek fasilitas/teknis
Secara umum fasilitas yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu yang digunakan untuk menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan diantaranya yaitu:
a)    Fasilitas pelelangan ikan
·           Timbangan
Timbangan ini berfungsi untuk menimbang ikan hasil tangkapan setelah didaratkan melalui dermaga lantai TPI.  Timbangan yang ada di TPI PPN Palabuhanratu secara keseluruhan berjumlah tiga unit, dengan rincian dua unit timbangan gantung dan satu unit timbangan digital.  Masing-masing kondisi fisik timbangan ini cukup baik, namun untuk timbangan digital mengalami beberapa kerusakan dikarenakan sudah cukup lama tidak digunakan sehingga keakuratannya berkurang.  Timbangan ini bisa digunakan oleh nelayan yang hendak melakukan lelang ikan, karena salah satu kegiatan KUD dalam pelelangan ikan yaitu melaksanakan kegiatan penimbangan ikan.
·           Trays
       Trays (basket) berfungsi sebagai wadah ikan hasil tangkapan yang didaratkan   di dermaga lantai TPI dan hendak dilelang.  Trays biasanya terbuat dari bahan fiber yang bersifat kuat dan tahan lama.  Trays ini disewakan kepada nelayan yang hendak melakukan lelang dengan dikenai biaya sewa Rp200,-/trays. Dari penyewaan trays inilah TPI mendapat pemasukan tambahan selain dari retribusi lelang ikan yang dipungut dari nelayan dan bakul.  Trays yang ada TPI berjumlah 600 unit dengan rincian 100 unit disediakan oleh pihak pengelola PPN Palabuhanratu dan 500 unit disediakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.  Secara umum kondisi fisik trays ini dalam keadaan baik.
·           Troli
       Troli merupakan alat bantu yang berfungsi untuk mempermudah proses pengangkutan ikan dari bibir dermaga menuju lantai TPI ketika ikan hasil tangkapan telah didaratkan dan hendak dilakukan pelelangan.  Troli yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 10 unit dan merupakan sumbangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.  Sampai saat ini troli ini masih berfungsi dan dalam kondisi yang baik.
·           Kursi Juru Lelang
Kursi juru lelang ini berfungsi sebagai tempat duduk juru lelang ketika pelelangan ikan dilaksanakan.  Kursi ini terbuat dari bahan kayu dan berbentuk menyerupai kursi wasit dalam pertandingan bulu tangkis, hal ini dilakukan untuk memudahkan juru lelang dalam melihat dan memutuskan peserta yang memenangkan lelang ikan.  Kondisi fisik dari kursi juru lelang ini dalam keadaan kurang baik.
·           Speaker TOA dan Microphone
Microphone dan speaker TOA ini berfungsi sebagai pengeras suara ketika dipergunakan oleh juru lelang saat melakukan kegiatan pelelangan ikan.  Hal ini dilakukan agar informasi yang disampaikan oleh juru lelang dapat terdengar oleh para peserta lelang sehingga transparansi jumlah dan harga ikan sama-sama diketahui oleh nelayan dan bakul.  Speaker TOA yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu berjumlah enam unit, dengan rincian empat unit speaker besar dan dua unit speaker dalam.  Semua speaker ini dalam kondisi baik dan merupakan sumbangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.  Microphone yang dimiliki TPI adalah microphone duduk yang berjumlah satu unit juga merupakan sumbangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.  Microphone ini hingga sekarang kondisinya masih baik dan dapat digunakan.
b)   Fasilitas bangunan TPI
            Sistem pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu belum berjalan lancar. Hal ini dapat dilihat melalui fasilitas bangunan TPI PPN Palabuhanratu yang seharusnya berfungsi sebagai wahana penjualan ikan untuk mencari pembeli potensial sebanyak mungkin tidak terwujud saat ini.  Pada dasarnya TPI PPN Palabuhanratu memiliki konstruksi bangunan yang cukup memadai untuk berlangsungnya aktivitas pelelangan ikan, namun saat ini bangunan tersebut telah beralih fungsi menjadi pasar dimana para pedagang lapak ikan bebas berjualan di dalam bangunan TPI tersebut.
            Hasil pengamatan selama dilapangan menunjukkan bahwa nampaknya tata letak dermaga areal bongkar kurang sesuai dengan fungsinya sebagai areal untuk proses pendaratan dan pembongkaran ikan.  Kenyataannya areal dermaga bongkar tersebut juga digunakan sebagai tempat kapal nelayan bersandar dan menambatkan kapalnya.  Hal ini tentu saja sangat mengganggu proses pendaratan dan pembongkaran ikan apabila hendak dilakukan pelelangan.
     Berdasarkan pengamatan dilapangan, aspek fasilitas pelelangan ikan bukan merupakan salah satu hambatan maupun faktor yang berpengaruh terhadap tidak berlangsungnya aktivitas pelelangan ikan meskipun pada kenyataannya ada beberapa dari fasilitas tersebut yang memiliki kondisi fisik tidak baik namun secara teknis hal tersebut dapat diperbaiki. Berbeda dengan aspek fasilitas bangunan TPI dan dermaga nampaknya hal tersebut berpengaruh terhadap tidak berjalannya aktivitas lelang ikan.
  • Aspek hasil tangkapan
Jenis hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu merupakan  jenis ikan komoditas ekspor dan non ekspor. Untuk proses pendaratannya sendiri, pihak PPN Palabuhanratu membedakan berdasarkan adanya ikan yang didaratkan dan tercatat melalui TPI (fish by retribusi) dan ikan yang didaratkan dan tercatat melalui pelabuhan perikanan (fish by landing). Fish by retribusi artinya ikan tersebut telah masuk dan tercatat di TPI serta dikenai retribusi untuk proses pelelangan ikan, sedangkan fish by landing adalah ikan secara keseluruhan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dan telah tercatat oleh pihak pengelola PPN Palabuhanratu.
Untuk ikan fish by landing biasanya identik dengan jenis ikan komoditas ekspor seperti Tuna, Layur, Swanggi dan sebagainya. Meskipun ikan tersebut tidak masuk ke TPI melainkan langsung masuk ke perusahaan pengekspor namun kenyataannya ikan tersebut tetap dikenakan tarif retribusi, hal ini bertentangan dengan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa
Bab II
PELELANGAN IKAN
Pasal 3
(1)     Hasil penangkapan ikan di laut harus dijual secara lelang di TPI.
(2)     Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

A. Rouf Sam (16 Mei 2009, diskusi pribadi) mengatakan bahwa, sesungguhnya ada beberapa alasan tertentu yang menyebabkan suatu ikan hasil tangkapan tidak dapat dilakukan pelelangan yaitu volume ikan hasil tangkapan terlalu kecil yaitu ≤50 kg, ikan komoditas ekspor, ikan hasil tangkapan dari kapal pelatihan/penelitian, nelayan yang tidak patuh aturan, serta konsumen yang melakukan kecurangan (kongkalikong).  

  • Aspek Peraturan/ kebijakan
            Kelembagaan  TPI merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak di sektor pemasaran hasil tangkapan nelayan.  TPI merupakan salah satu unit usaha KUD yang berfungsi sebagai media pemasaran ikan melalui aktivitas pelelangan ikan.  Pelelangan ikan tersebut merupakan upaya Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota yang bertujuan untuk membentuk persaingan harga yang layak bagi nelayan serta melindungi nelayan dari permainan harga pasar yang kurang menguntungkan.  Salah satu upaya yang ditempuh Pemerintah Kabupaten/Kota adalah melalui pembentukan kelembagaan KUD yang berwenang untuk menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan.  Hal ini sesuai dengan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 tahun 2005. dimana disebutkan bahwa:
Bab III
Izin Penyelenggaraan Pelelangan Ikan
Pasal 5
(1)     Penyelenggaraan Pelelangan Ikan harus memiliki izin dari Gubernur.
(2)     Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat.
(3)     Jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota.

            Berdasarkan penjelasan di atas, telah diketahui secara pasti bahwa lembaga yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan pelelangan ikan adalah KUD Mina.  Aktivitas pelelangan ikan merupakan suatu mekanisme pasar melalui pembentukan harga bersaing secara transparan dan dilakukan dihadapan khalayak umum. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannyapun memiliki seperangkat aturan atau kebijakan yang telah di buat oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Untuk wilayah Provinsi Jawa Barat, saat ini berlaku Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Maka dapat disimpulkan bahwa aspek kebijakan/peraturan bukan merupakan faktor penghambat tidak berfungsinya aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu.  Pengamatan dan hasil wawancara dilapangan justru menunjukkan bahwa pelaksanaan dari seperangkat aturan dan kebijakan tersebutlah yang justru mengalami kesulitan karena belum adanya kerjasama dan kurangnya dukungan dari semua unsur dan peran masyarakat dalam penegakan aturan pelelangan. Selain itu dalam beberapa ketentuan belum terdapat kejelasan yang lebih spesifik mengenai aturan-aturan bagi ikan yang tidak diperkenankan untuk mengikuti lelang hal ini tentu saja membuka peluang untuk tidak berjalannnya sistem lelang sehingga fungsi KUD Mina sebagai penyelenggara lelang kurang berfungsi dengan baik.  

SEJARAH PELELANGAN di TPI PPN PALABUHANRATU

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu didirikan pada tahun 1993. Pembangunan pelabuhan ini bertujuan sebagai tempat tambat labuh nelayan yang mempunyai fishing ground di Samudera Hindia, dan agar nelayan bisa memasarkan hasil tangkapannya. Sejak pertama kali dibangun, pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu adalah pemasaran dengan sistem pelelangan. Pada saat itu pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu dikelola oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. Namun, proses pelelangan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi hanya berlangsung selama 10 tahun.
Pada tahun 1997 saat krisis multidimensional melanda Indonesia, pemerintah melalui menteri Pertanian dan Menteri koperasi dan pemberdayaan industri kecil mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No.132 tahun 1997, 902/Kpts/3/SKB/…../IX/1997 mengenai pelelangan ikan yang tercantum dalam Bab II pasal 4 ayat 2 yang berbunyi: ‘Kepala daerah menunjuk KUD sebagai penyelenggara pelelangan ikan setelah memenuhi syarat’ (Dinas Perikanan Propinsi DKI Jakarta), serta didukung oleh Perda Jabar No.5 tahun 2005 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan (Dinas Perikanan Propinsi Jabar). Implementasi dari kebijakan tersebut adalah hampir semua Tempat Pelelangan (TPI) termasuk di PPN Palabuhanratu dikelola oleh KUD Mina. Pada Perda Jabar No.5 Tahun 2005, tercantum mengenai izin penyelenggaraan pelelangan ikan. Isi dari Perda ini mempertegas dari SKB No.132 Tahun 1997. Dalam Perda Jabar No.5 Tahun 2005 dijelaskan tentang izin penyelenggaraan pelelangan ikan pada Bab III Pasal 5 dimana penyelenggaraan pelelangan ikan harus memiliki izin Gubernur. Izin tersebut diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat yaitu memiliki kekuatan ekonomi yang baik. Selanjutnya dalam Perda Jabar tersebut dijelaskan kembali jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota.
Adapun alasan dibalik keluarnya SKB tersebut, menurut Baga (2010) tersebut adalah untuk memberdayakan Koperasi Unit Desa Mina (KUD Mina) yang tengah kehilangan citra positif di mata masyarakat. Koperasi juga mengalami masa-masa kritis dimana kepercayaan dari masyarakat sudah mulai hilang secara perlahan. Selain itu, koperasi juga mengalami kesulitan dalam pendanaan operasional kegiatan koperasi akibat unit usahanya yang mulai ‘gulung tikar’. Untuk memberdayakan kembali koperasi, pemerintah berinisiatif untuk ‘menyerahkan’ pengelolaan pelelangan ikan kepada koperasi sebagai unit usahanya, karena koperasi dianggap merupakan lembaga yang gerakannya berasal dari bawah (masyarakat) dan dianggap mampu untuk menyelenggarakan pelelangan. Menurut Baga (2010) keputusan pemerintah untuk menyerahkan tanggung jawab pelelangan ikan kepada koperasi terlalu terburu-buru, karena pada saat itu koperasi sebagai sebuah organisasi berada dalam keadaan yang tidak baik. Selain itu, koperasi yang ada pada saat itu merupakan koperasi yang dibentuk oleh pemerintah (top-down) bukan hasil dari gerakan sosial-ekonomi masayarakat. Sehingga, koperasi yang ada bersifat tidak aspiratif. 
Kondisi koperasi yang seperti diatas bisa dilihat dari pernyataan koresponden nelayan dan pedagang ikan yang ada disekitar Palabuhanaratu yang menganggap koperasi hanyalah sebuah nama saja tanpa mengetahui ada kegiatan dan manfaat bagi mereka. Hal ini menyebabkan pelelangan ikan yang ada di Palabuhanratu tidak berjalan sejak dikelola oleh KUD Mina Mandiri Sinar Laut pada tahun 2000 sampai sekarang. Menurut pihak PPN Palabuhanratu, pelelangan yang ada di TPI PPN Palabuhanratu sejak dipegang oleh KUD Mina hanya berpura-pura mengadakan pelelangan, karena pembeli sudah ditentukan sebelum pelelangan dimulai.
Sampai saat ini pelelangan ikan belum terlaksana kembali, meskipun sesekali dilakukan pelelangan dan retribusi pelelangan ikan tetap diberlakukan. Bahkan pada tahun 2007 mencapai nilai raman yang tinggi sepanjang sejarah TPI PPN Palabuhanratu yaitu sebesar 1,3 miliar rupiah dan pada tahun tersebut, belum juga ada pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan wawancara dengan kepala Cabang Dinas Perikanan yang menangani pelelangan ikan menyatakan bahwa tidak berfungsinya TPI di PPN Palabuhanratu disebabkan oleh beberapa aspek, diantaranya:
1.    Aspek Regulasi :
1)   Kerjasama dalam penegakan aturan masih belum tercapai karena kurangnya dukungan pihak terkait.
2)   Belum ada kejelasan mengenai aturan-aturan untuk ikan yang tidak diperkenankan untuk dilelang.
2.    Aspek Sosial :
1)   Kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pelelangan ikan masih rendah, pola pikir seperti inilah yang harus diubah.
2)   Adanya multifungsi usaha/multifungsi profesi sehingga menyulitkan peran seseorang dalam aktivitas lelang. Contoh : pengusaha (pemilik kapal) di palabuhanratu biasanya merangkap sebagai bakul.
3)   Adanya sistem ‘langgan’ yang sulit untuk diubah. Sistem langgan ini biasanya terjadi ketika nelayan tidak memiliki modal untuk melaut maka mereka akan meminjam uang kepada juragan, sehingga hasil tangkapan nelayan harus diserahkan sepenuhnya kepada juragan tersebut.
3.  Aspek teknis :  tata letak areal bongkar yang tidak sesuai. Saat ini dermaga untuk area bongkar digunakan kapal untuk bersandar akibat kolam pelabuhan yang telah overcapacity.
Penyebab pelelangan sebagaimana disebutkan oleh Kepala Cabang Dinas diatas dapat terjadi karena adanya perpindahan pengelolaan TPI dari Dinas Perikanan ke KUD Mina. Menurut pengelola TPI, pergantian pengelola ini menyebabkan adanya perbedaan pengelolaan pelelangan. Saat dikelola oleh Dinas Perikanan, Kepala TPI bertindak tegas terhadap pelaku pelelangan jika terjadi pelanggaran,  hal berbeda dilakukan oleh pengelola KUD sebagai Kepala TPI yang kurang tegas dalam bertindak sehingga ketiga aspek tersebut bisa muncul. Penyebab lainnya adalah karena pengelola KUD tidak mengerti benar Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat mengenai pelelangan. Sehingga ada beberapa ikan hasil tangkapan yang tidak dilelang. Keadaan ini tidak disertai dengan komunikasi yang baik antara pengelola TPI dengan pelaku pelelangan, sehingga muncul masalah sebagaimana disebutkan oleh Kepala Cabang Dinas  diatas.
Pelelangan yang tidak berlangsung di TPI PPN Palabuhanratu, berlangsung hingga tahun 2011. pada tahun tersebut, pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (selanjutnya di baca Dinas Perikanan). mengadakan evaluasi kinerja pengelola TPI. Pertemuan ini melibatkan Dinas Perikanan, Pengelola TPI PPN Palabuhanratu, Pengelola KUD Mina Mandiri Sinar Laut, Nelayan, Pedagang dan Bakul. Pada pertemuan tersebut, diperoleh hasil yaitu pelelangan harus kembali "dihidupkan" dan pengelola TPI kembali ke Dinas Perikanan. Nelayan beralasan bahwa tidak berlangsungnya pelelangan menyulitkan mereka (nelayan) dalam memasarkan hasil tangkapannya. Tidak adanya pelelangan, menyebabkan bakul memonopoli harga ikan, nelayan juga tidak mengetahui secara pasti harga ikan yang ditangkapnya dipasaran. akibat dari hal tersebut, nelayan semakin terjerat tengkulak.
Setelah pemindahan pengelolaan dari KUD Mina ke Dinas Perikanan, kepala TPI kembali melakukan komunikasi yang intensif dengan nelayan, bakul dan pedagang agar pelelangan dapat terselenggara dengan baik. Akhirnya pada bulan Juni 2011, pelelangan dilakukan kembali di TPI PPN Palabuhanratu. Kepala TPI PPN Palabuhanratu saat itu menyatakan bahwa pelelangan yang terjadi masih belum memuaskan, karena masih terjadi lelang opow
Lelang opow merupakan sebuah istilah dimana ikan tidak berhasil terjual kepada bakul maupun pedagang peserta lelang karena tidak mampu membeli ikan yang ditawarkan nelayan melalui juru lelang. Terjadinya lelang opow ini memang secara sengaja dikondisikan oleh nelayan. Nelayan melakukan hal tersebut karena sebelum melaut memperoleh dana operasional dari tengkulak atau ikan hasil tangkapannya sudah di ijon sebelum pergi melaut. Sehingga nelayan harus menjual ikan hasil tangkapan kepada temgkulak. Pelelangan yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu pun hanya sebatas formalitas yang dilakuakn oleh nelayan, bakul dan pedagang. 
Kondisi lelang opow ini disadari betul oleh Kepala TPI, namun semoga saja secara bertahap nelayan mampu terlepas dari jerat tengkulak sehingga kemudian pelelangan akan berlangsung sebagaimana seharusnya. Pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu maupun di pelabuhan perikanan lainnya memang sudah seharusnya tetap diselenggarakan. Banyak keuntungan dari diselenggarakannya pelengan diantaranya terjadinya transparansi harga, pendapatan nelayan yang meningkat, dan tentu saja akan ada retribusi yang merupakan salah satu penyumbang PAD.

PROSES PELELANGAN DI TPI PPN PALABUHANRATU (PICT)









Selasa, 25 Oktober 2011

Kalasadamate

Kalasamadate.. begitu nama blog ini dibuat...
artinya dari KALASADAMATE masih seputar perikanan... masih seputar nelayan...

terimakasih...
enjoy



KESEJAHTERAAN NELAYAN, VISI 2015 DAN MINAPOLITAN



Dalam sambutannya dalam Seminar Nasional Perikanan Tangkap III di IPB Convention Center Bogor, Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan salah satu visi pembangunan kelautan dan perikanan yakni “Indonesia Penghasil Produk Kelautan Dan Perikanan Terbesar Tahun 2015”. Menurut Ir. Fadel Muhammad , pada sub perikanan tangkap sendiri, terdapat beberapa permasalahan yang harus dicarikan solusinya untuk terwujudnya Visi 2015 tersebut. Permasalahan yang dirasakan utama adalah sebagai berikut:
  1.      Ketidakseimbangan pemanfataan sumberdaya ikan di perairan indonesia.
  2.      Armada perikanan tangkap nasional yang masih didominasi armada kecil
  3.      Infrastruktur pelabuhan yang belum optimal
  4.      Dukungan lembaga keuangan dan akses nelayan terhadap permodalan masih rendah.
Keempat masalah tersebut akan bermuara pada stagnannya kesejahteraan nelayan selama ini. Seolah tidak pernah beranjak dari kata kumuh, miskin dan terbelakang. Meskipun tidak semua ketiga kata diatas tersebut melekat erat terhadap nelayan yang ada di Indonesia. Karena ketiga kata tersebut erat melekat pada nelayan dengan status nelayan buruh (ABK) dengan armada perikanan tangkap yang masih didominasi armada kecil. Kondisi ini diperburuk dengan sulit atau bahkan nelayan tidak mempunyai akses untuk masuk dalam lembaga keuangan layaknya pegadaian dan bank, karena lembaga keuangan tersebut tidak mau mengambil resiko yang terlalu besar.
Munculnya konsep minapolitan semula menggugah saya untuk berharap bahwa suatu saat nanti derajat hidup nelayan akan naik. Namun, setelah saya mencari informasi terkait dengan minapolitan sungguh kecewa saya dengan konsep yang ada. Dalam koran kompas cetakan 12 Februari 2010, Suhana, Kepala Riset Pusal Kajian Pembangunan Kelautan dan Peadaban Maritim, mengungkapkan bahwa ekspansi usaha perikanan tangkap tidak bisa lagi diandalkan untuk menibgkatkan produksi perikanan nasional. Sebagian perairan di Indonesia sudah mengalami penangkapan berlebih (over exploited). Pemerintah menargetkan lompatan produksi budidaya 353%, dari 4,78 juta ton tahun 2009 menjadi 16,89 juta ton tahun 2014.
Ditempat yang sama dengan Suhana, Ir. Fadel Muhammad mengungkapkan bahwa pemerintah memprogramkan pengembangan Minapolitan dikawasan-kawasan perikanan. Konsep minapolitan itu mengintegrasikan produksi bahan baku, pengolahan dan pemasaran.
Dengan demikian, minapolitan adalah upaya pemerintah mengintegrasikan produksi bahan baku, pengolahan dan pemasaran. Konsep minapolitan ini menurut Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec merupakan strategi peningkatan daya saing perikanan berbasis klaster (pendekatan klaster).pendekatan klaster dalam pengembangan sumberdaya perikanan dapat dikatan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu. Dengan terpusatnya kegiatan perikanan sehingga mendorong pembangunan infrastruktur yang lebih efektif dan efisien. Efisiensi dan efektifitas tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transportasi antar subsistem.
Adanya minapolitan sepertinya lebih difokuskan kepada petani ikan (pembudidaya ikan) bukan terhadap nelayan. Dari adanya minapolitan sendiri,sebenarnya sudah melangkah jauh dari visi 2015 yang dicanangkan oleh kementrian Kelautan dan Perikanan. Program minapolitan memang memiliki keunggulan, diantaranya efisien, efektif, dan tersedianya pasar serta kegiatan lainnya di daerah perikanan. Namun, sepertinya ada yang terlupakan dalam pembangunan kali ini. Pembangunan minapolitan seperti mengabaikan nelayan yang seperti disebutkan diatas merupakan nelayan kecil. Sepertinya program minapolitan hanya memperbanyak akses bagi pengusaha untuk masuk ke sektor perikanan sehingga tercipta pasar disekitar sektor perikanan. Hal ini hanya akan membuat daya tawar nelayan melemah. Kenapa? Karena kondisi sosial masyarakat nelayan jauh dari erat didalamnya tersimpan persaingan untuk saling mengalahkan.
Kalaupun nantinya ada pembinaan, saya tidak sepenuhnya yakin akan berhasil. Satu hal yang saya yakini, dengan adanya minapolitan akan muncul persaingan tidak sehat antar nelayan dan pelaku perikanan tangkap. Dunia perikanan tangkap akan dihadapkan pada persaingan yang keras dalam menghadapai minapolitan. Hingga akhirya akan saling jegal dan ‘saling bunuh’ antar pelaku perikanan tangkap.
Hal ini karena saya telah melihat sendiri dilapangan, pembangunan yang hanya berbasis pada infrastruktur dan penyediaan pasar dengan mengabaikan sosial masyarakat nelayan itu sendiri akan berakhir dengan hampa. Tidak kah kita belajar dari sejarah? Bagaimana koperasi tidak berkembang?
Saya sungguh iri, sangat iri yang mendalam terhadap sektor pertanian. Karena sektor ini mampu belajar dari keterpurukan masa lalu. Pembangunan sektor pertanian kini mengutamakan sektor sosial lalu kemudian ekonomi melalu program GAPOKTAN dan PUAP. Sektor pertanian tahu dan mengenali dengan cermat permasalahan yang terjadi, sehingga memutuskan untuk membangun sosial antar petani terlebih dahulu, setelah dirasa sosialnya telah kuat lalu diperkuat ekonominya. Tentu saja proses ini didampingi oleh seorang yang kompeten dibidangnya yaitu penyuluh pertanian. Dengan program yang diterapkan oleh Departemen Pertanian pada masa kepemimpinan Menteri Pertanian Anton Apriantoni, Indonesia mampu swasembada pangan (utamanya beras). Adanya program GAPOKTAN dan PUAP membawa petani untuk bangkit dari keterpurukan dengan bersama-sama. Tidak ada yang menjadi labih maju dan paling terbelakang dalam usaha pertaniannya. Yang terjadi justru petani didaerah yang menerapkan sistem ini maju bersama menuju kesejahteraan.
Tidak ada salahnya kita mencontoh apa yang dilakukan departemen pertanian. Saya yakin, minapolitan mempunyai maksud yang baik, tapi jangan biarkan nelayan yang mempunyai daya tawar yang rendah dibiarkan ‘saling bunuh’ dalam program minapolitan. Saya mengusulkan supaya ada program seperti GAPOKTAN dan PUAP dimana sosial terlebih dahulu diperkuat lalu kemudian ekonominya ditingkatkan. Jangan sampai Gotong Royong yang telah menajdi pedoman bangsa ini selama bertahun-tahun semakin lenyap ditelan sistem kapitalis, yang lebih mengutamakan ekonomi dibanding sosial. Maka untuk mengakhiri tulisan saya ini, konsep ekonomi-sosial hanya akan meyebabkan kesejahteraan nelayan semakin terpuruk. Karena nelayan Indonesia pada umumnya hanya memiliki armada penangkapan yang kecil. Maka, Untuk mencapai visi 2015 dan sekaligus mensejahterakan nelayan konsep Sosial-ekonomi lebih masuk akal. Mari kita maju bersama membangun dunia perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan Indonesia.
“We want you to be one of us to be a fishermen and to feed the hungry world”

Deskripsi dan Mekanisme Pelelangan Ikan


Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan disuatu tempat pelelangan ikan guna mempertemukan antara penjual dan pembeli ikan sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang mereka sepakati bersama. Dengan demikian pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai tata niaga ikan.
Pelaksanaan pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu diatur oleh Perda No 10 dan Perda No 11 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan UU No 34/2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah ternyata propinsi hanya mengatur 4 jenis pajak yakni:
(1)  pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,
(2)  bea balik nama kendaran bermotor dan kendaraan di atas air,
(3)  pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan
(4)  pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka peraturan pelelangan ikan seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bukan oleh Pemerintah Propinsi. Hal ini menjadi masalah tersendiri karena lokasi pelelangan ikan berada di Kabupaten/Kota yang bukan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi oleh Perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi. Sehingga mengakibatkan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas pelelangan ikan disetiap pelabuhan perikanan tidak baik dan hasilnya tidak optimal. Selain itu uang hasil pungutan retribusi sebagian diambil untuk Pemerintah Propinsi sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak berdaya mengatasi masalah-masalah pelelangan ikan, misalnya penyediaan sarana pelelangan yang memadai, penyediaan biaya petugas lelang, kebersihan dan keamanan tempat pelelangan ikan dan biaya operasional gedung tempat pelelangan ikan.
           Secara kelembagaan yang melaksanakan kegiatan pelelangan ikan adalah KUD Mina. Kondisi manajemen KUD yang belum baik, SDM pengurus yang masih rendah tingkat pendidikannya dan kurang luas pengetahuan dan pengalamannya, sikap dan perilaku pengurus yang kurang disenangi anggotanya, modal KUD yang belum memadai sehingga mengakibatkan KUD tidak mengakar dalam alam nelayan setempat untuk selanjutnya pelelangan ikan tidak dapat dijalankan yang mengakibatkan nilai jual yang seharusnya besar, namun hasil yang diperoleh sangat kecil.
Kondisi keamanan dan ketertiban dilokasi tempat pelelangan ikan, terkesan banyak preman dan jawaranya yang sukar diberantas karena sudah lama terjadi dan hal ini merupakan sumber mata pencahariannya.
Kebersihan tempat pelelangan ikan yang kurang baik, akibat dari biaya operasional  petugas kebersihan kurang tersedia. Kondisi fasilitas tempat pelelangan ikan yang tidak memenuhi syarat, sebagai contoh tidak ada fasilitas air bersih di tempat pelelangan ikan. Tata ruang dan kondisi kontruksi tempat pelelangan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Kesadaran nelayan sendiri yang tidak mematuhi atauran akibat kekurangtahuan mereka mengenai hakekat diadakan pelelangan ikan.
Pembinaan yang dilakukan oleh instansi seperti Dinas Perikanan dan Dinas Koperasi terhadap pelelangan sangat kurang sehingga terkesan pelelangan dijalankan seadanya. Sarana distribusi seperti mobil yang berpendingin tidak ada sehingga mutu ikan yang dijual dari tempat pelelangan ikan untuk kemudian didistribusikan ke konsumen mutunya menurun.
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka penyelenggaraan pelelangan ikan memiliki sasaran :
(1) Meningkatkan pendapatan nelayan
(2) Meningkatkan eksistensi pelelangan ikan
(3) Menigkatkan Kelayakan TPI
(4) Meningkatkan fungsi TPI
(5) Meningkatkan aplikasi aturan pelelangan ikan
Masalah yang dianalisis adalah pelelangan ikan yang kasusnya terjadi di tempat pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu.
Kajian apakah pelelangan ikan itu diperlukan atau tidak, akan ditinjau dari berbagai aspek diantaranya aspek ekonomi dan aspek sosial-budaya. Tinjauan aspek ekonomi diarahkan kepada keuntungan yang didapat nelayan apabila mengikuti pelelangan ikan, aspek sosial dibahas masalah sosial atau hubungan yang terjadi diantara nelayan akibat adanya aktivitas pelelangan ini, aspek budaya dikaji adanya pelelangan ikan apakah terjadi perubahan tingkah laku mereka dalam dunia perikanan.
Persyaratan konstruksi dan kelengkapan konstruksi di TPI adalah
·             Lantai TPI memiliki kemiringan 2 % agar benda cair segera meluncur/mengalir ke saluran drainase.
·           Bangunan TPI bentuknya terbuka dan bebas cahaya dan udara masuk.
·             Dipinggir/ditiang TPI dipasang kran air agar memudahkan dalam pencucian ikan atau lantai TPI.
·           Penerangan TPI secukupnya .
·           Dinding TPI dari keramik agar mudah dibersihkan.
·             Sepanjang/sekeliling  TPI dibuat pagar dan ada pintu agar tidak semua bisa masuk kedalam TPI.
·           Diruang TPI disediakan tempat-tempat sampah

TPI yang telah dibangun di PPN Pelabuhanratu konstruksi memiliki kelayakan sebagai berikut :
·         Luas TPI 900 m2, terdiri dari ruang sortir, ruang lelang dan ruang pengepakan. Kondisi ini sudah sesuai dengan kapasitas ruang uang dapat menampung 50 ton ikan setiap  harinya.
·         Lantai TPI memiliki kemiringan 2 %. Kondisi ini sudah sesuai persyaratan yang ditetapkan yakni 2 % guna memperlancar zat cair mengalir ke saluran pembuangan.
·         Dilengkapi saluran air. Kondisi ini sudah sesuai dengan rencana, namun saluran air ini tidak baik pembuangannya ke kolam pelabuhan yang seharusnya harus dialihkan ke bak penampungan air kotor.
·         Air bersih tidak berfungsi karena air dari PDAM tidak mengalir ke TPI. Hal ini terjadi karena kondisi PDAM sering tidak mengalir. Untuk masa yang akan datang akan diupayakan air dari sumur dalam.
·         Untuk membersihkan lantai digunakan air laut yang dialirkan dengan menggunakan pompa genset. Kondisi ini sebetulnya tidak baik, untuk masa yang akan datang diupayakan dari air tawar.
·         Didalam TPI ada bak sampah.Kondisi ini sudah sesuai rencana.
·         Disediakan penerangan yang cukup dari PLN.Kondisi ini sudah sesuai rencana.
·         Disediakan timbangan yang dapat digunakan nelayan secara bebas. Kondisi ini sudah sesuai rencana, namun sering dipermainkan sehingga sering rusak.
·         Dinding TPI adalah keramik.Sudah sesuai rencana.
·         Disediakan gerobak dorong.Sudah sesuai rencana.

    Pelelangan diatur pertama kali dalam Peraturan Pemerintah No.64/1957 tentang penyerahan sebagian dari urusan pemerintah pusat dilapangan perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada daerah-daerah swatantra tingkat I. Didalam PP ini diatur pelelangan ikan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
    Untuk daerah Jawa Barat berlaku Peraturan Daerah Propinsi Dati Jawa Barat No 15/1984 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang.
    Kemudian Pemerintah Pusat melalui Keputusan Bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri serta Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No. 139/1997, 902/kpts/pi-402/9/97 dan 03.SKB/M/IX/1997 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan.
    Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Perda No 10/1998 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan dan Perda No 11/1998 tentang retribusi pasar grosir. Kemudian Gubernur mengeluarkan juklaknya No 4 dan No 5/2001.
Kelemahan yang ditemui didalam Perda dan Juklak yang dikeluarkan oleh Gubernur diatas adalah:
·      Banyak ikan-ikan yang tidak dilelang dengan alasan yang diperbolehkan aturan seperti ikan yang tidak dilelang adalah ikan yang dipergunakan untuk lauk pauk, hasil olah raga dan penelitian. Kejadian ini terjadi karena petugas dan masyarakat tidak mengetahui aturan pelelangan ikan, sehingga sosialisasi aturan sangat diperlukan.
·      Penunjukan KUD Mina sebagai penyelenggara lelang terkesan monopoli dan diskriminitif. Padahal banyak KUD Mina yang tidak mengakar kepada nelayan dan tidak sehat. Sehingga Perda tersebut perlu dirubah sehingga tidak terkesan monopoli.
·      Berdasarkan Otda sebaiknya Perda Pelelangan Ikan dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, karena merekalah yang punya daerah dan merekalah yang mengendalikan dan mengawasinya.
·      Denda hanya Rp 50.000 atau kurungan 3 bulan sangat rendah dan tidak setimpal terhadap pelanggaran yang dilakukannya, sehingga aturan ini tidak berjalan efektif dilapangan. Perda ini perlu direvisi dengan denda dan kurungan yang cukup memadai sehingga pelaku jera melakukan kesalahan.
·      Besar retribusi 5 % diambil dari nelayan 2 % dan pembeli 3 %, kemudian diperuntukan bagi biaya lelang 2 % (biaya penyelenggaraan dan administrasi sebesar 80 %, dana paceklik 5 %, dana sosial, kecelakaan di laut dan asuransi nelayan 5 %, dana tabungan nelayan 5 % dan biaya pengamanan 5 %).Sedangkan yang 3 %  lagi  dibagi untuk Pemda Tk I 2 % dan 1 % biaya operasional dan pemeliharaan pasar grosir . Kelemahannya adalah bahwa uang tersebut penggunaannya tidak jelas, tidak  diaudit/diperiksa sehingga kepentingan nelayan terabaikan. Oleh karena itu pengawasan dan pengendalian penggunaan uang retribusi ini perlu ditingkatkan.Selain itu apabila aktivitas volume lelangnya kecil, maka biaya operasional lelang yang diperoleh KUD sangat kecil.
·      Seringkali uang retribusi yang disetor ke Pemda Tk I tidak disalurkan ke Pemda Tk II.


DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Perikanan, 1981. Standar Rencana Induk dan Pokok-Pokok   Desain untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan.

Mahyuddin, B. 2001. Peranan  Pelelangan  Ikan Dalam  Meningkatkan Pendapatan Nelayan (Kasus Pelelangan Ikan Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu). Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor