Selasa, 25 Oktober 2011

Deskripsi dan Mekanisme Pelelangan Ikan


Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan disuatu tempat pelelangan ikan guna mempertemukan antara penjual dan pembeli ikan sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang mereka sepakati bersama. Dengan demikian pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai tata niaga ikan.
Pelaksanaan pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu diatur oleh Perda No 10 dan Perda No 11 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan UU No 34/2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah ternyata propinsi hanya mengatur 4 jenis pajak yakni:
(1)  pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,
(2)  bea balik nama kendaran bermotor dan kendaraan di atas air,
(3)  pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan
(4)  pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka peraturan pelelangan ikan seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bukan oleh Pemerintah Propinsi. Hal ini menjadi masalah tersendiri karena lokasi pelelangan ikan berada di Kabupaten/Kota yang bukan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi oleh Perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi. Sehingga mengakibatkan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas pelelangan ikan disetiap pelabuhan perikanan tidak baik dan hasilnya tidak optimal. Selain itu uang hasil pungutan retribusi sebagian diambil untuk Pemerintah Propinsi sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak berdaya mengatasi masalah-masalah pelelangan ikan, misalnya penyediaan sarana pelelangan yang memadai, penyediaan biaya petugas lelang, kebersihan dan keamanan tempat pelelangan ikan dan biaya operasional gedung tempat pelelangan ikan.
           Secara kelembagaan yang melaksanakan kegiatan pelelangan ikan adalah KUD Mina. Kondisi manajemen KUD yang belum baik, SDM pengurus yang masih rendah tingkat pendidikannya dan kurang luas pengetahuan dan pengalamannya, sikap dan perilaku pengurus yang kurang disenangi anggotanya, modal KUD yang belum memadai sehingga mengakibatkan KUD tidak mengakar dalam alam nelayan setempat untuk selanjutnya pelelangan ikan tidak dapat dijalankan yang mengakibatkan nilai jual yang seharusnya besar, namun hasil yang diperoleh sangat kecil.
Kondisi keamanan dan ketertiban dilokasi tempat pelelangan ikan, terkesan banyak preman dan jawaranya yang sukar diberantas karena sudah lama terjadi dan hal ini merupakan sumber mata pencahariannya.
Kebersihan tempat pelelangan ikan yang kurang baik, akibat dari biaya operasional  petugas kebersihan kurang tersedia. Kondisi fasilitas tempat pelelangan ikan yang tidak memenuhi syarat, sebagai contoh tidak ada fasilitas air bersih di tempat pelelangan ikan. Tata ruang dan kondisi kontruksi tempat pelelangan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Kesadaran nelayan sendiri yang tidak mematuhi atauran akibat kekurangtahuan mereka mengenai hakekat diadakan pelelangan ikan.
Pembinaan yang dilakukan oleh instansi seperti Dinas Perikanan dan Dinas Koperasi terhadap pelelangan sangat kurang sehingga terkesan pelelangan dijalankan seadanya. Sarana distribusi seperti mobil yang berpendingin tidak ada sehingga mutu ikan yang dijual dari tempat pelelangan ikan untuk kemudian didistribusikan ke konsumen mutunya menurun.
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka penyelenggaraan pelelangan ikan memiliki sasaran :
(1) Meningkatkan pendapatan nelayan
(2) Meningkatkan eksistensi pelelangan ikan
(3) Menigkatkan Kelayakan TPI
(4) Meningkatkan fungsi TPI
(5) Meningkatkan aplikasi aturan pelelangan ikan
Masalah yang dianalisis adalah pelelangan ikan yang kasusnya terjadi di tempat pelelangan ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu.
Kajian apakah pelelangan ikan itu diperlukan atau tidak, akan ditinjau dari berbagai aspek diantaranya aspek ekonomi dan aspek sosial-budaya. Tinjauan aspek ekonomi diarahkan kepada keuntungan yang didapat nelayan apabila mengikuti pelelangan ikan, aspek sosial dibahas masalah sosial atau hubungan yang terjadi diantara nelayan akibat adanya aktivitas pelelangan ini, aspek budaya dikaji adanya pelelangan ikan apakah terjadi perubahan tingkah laku mereka dalam dunia perikanan.
Persyaratan konstruksi dan kelengkapan konstruksi di TPI adalah
·             Lantai TPI memiliki kemiringan 2 % agar benda cair segera meluncur/mengalir ke saluran drainase.
·           Bangunan TPI bentuknya terbuka dan bebas cahaya dan udara masuk.
·             Dipinggir/ditiang TPI dipasang kran air agar memudahkan dalam pencucian ikan atau lantai TPI.
·           Penerangan TPI secukupnya .
·           Dinding TPI dari keramik agar mudah dibersihkan.
·             Sepanjang/sekeliling  TPI dibuat pagar dan ada pintu agar tidak semua bisa masuk kedalam TPI.
·           Diruang TPI disediakan tempat-tempat sampah

TPI yang telah dibangun di PPN Pelabuhanratu konstruksi memiliki kelayakan sebagai berikut :
·         Luas TPI 900 m2, terdiri dari ruang sortir, ruang lelang dan ruang pengepakan. Kondisi ini sudah sesuai dengan kapasitas ruang uang dapat menampung 50 ton ikan setiap  harinya.
·         Lantai TPI memiliki kemiringan 2 %. Kondisi ini sudah sesuai persyaratan yang ditetapkan yakni 2 % guna memperlancar zat cair mengalir ke saluran pembuangan.
·         Dilengkapi saluran air. Kondisi ini sudah sesuai dengan rencana, namun saluran air ini tidak baik pembuangannya ke kolam pelabuhan yang seharusnya harus dialihkan ke bak penampungan air kotor.
·         Air bersih tidak berfungsi karena air dari PDAM tidak mengalir ke TPI. Hal ini terjadi karena kondisi PDAM sering tidak mengalir. Untuk masa yang akan datang akan diupayakan air dari sumur dalam.
·         Untuk membersihkan lantai digunakan air laut yang dialirkan dengan menggunakan pompa genset. Kondisi ini sebetulnya tidak baik, untuk masa yang akan datang diupayakan dari air tawar.
·         Didalam TPI ada bak sampah.Kondisi ini sudah sesuai rencana.
·         Disediakan penerangan yang cukup dari PLN.Kondisi ini sudah sesuai rencana.
·         Disediakan timbangan yang dapat digunakan nelayan secara bebas. Kondisi ini sudah sesuai rencana, namun sering dipermainkan sehingga sering rusak.
·         Dinding TPI adalah keramik.Sudah sesuai rencana.
·         Disediakan gerobak dorong.Sudah sesuai rencana.

    Pelelangan diatur pertama kali dalam Peraturan Pemerintah No.64/1957 tentang penyerahan sebagian dari urusan pemerintah pusat dilapangan perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada daerah-daerah swatantra tingkat I. Didalam PP ini diatur pelelangan ikan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
    Untuk daerah Jawa Barat berlaku Peraturan Daerah Propinsi Dati Jawa Barat No 15/1984 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang.
    Kemudian Pemerintah Pusat melalui Keputusan Bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri serta Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No. 139/1997, 902/kpts/pi-402/9/97 dan 03.SKB/M/IX/1997 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan.
    Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Perda No 10/1998 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan dan Perda No 11/1998 tentang retribusi pasar grosir. Kemudian Gubernur mengeluarkan juklaknya No 4 dan No 5/2001.
Kelemahan yang ditemui didalam Perda dan Juklak yang dikeluarkan oleh Gubernur diatas adalah:
·      Banyak ikan-ikan yang tidak dilelang dengan alasan yang diperbolehkan aturan seperti ikan yang tidak dilelang adalah ikan yang dipergunakan untuk lauk pauk, hasil olah raga dan penelitian. Kejadian ini terjadi karena petugas dan masyarakat tidak mengetahui aturan pelelangan ikan, sehingga sosialisasi aturan sangat diperlukan.
·      Penunjukan KUD Mina sebagai penyelenggara lelang terkesan monopoli dan diskriminitif. Padahal banyak KUD Mina yang tidak mengakar kepada nelayan dan tidak sehat. Sehingga Perda tersebut perlu dirubah sehingga tidak terkesan monopoli.
·      Berdasarkan Otda sebaiknya Perda Pelelangan Ikan dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, karena merekalah yang punya daerah dan merekalah yang mengendalikan dan mengawasinya.
·      Denda hanya Rp 50.000 atau kurungan 3 bulan sangat rendah dan tidak setimpal terhadap pelanggaran yang dilakukannya, sehingga aturan ini tidak berjalan efektif dilapangan. Perda ini perlu direvisi dengan denda dan kurungan yang cukup memadai sehingga pelaku jera melakukan kesalahan.
·      Besar retribusi 5 % diambil dari nelayan 2 % dan pembeli 3 %, kemudian diperuntukan bagi biaya lelang 2 % (biaya penyelenggaraan dan administrasi sebesar 80 %, dana paceklik 5 %, dana sosial, kecelakaan di laut dan asuransi nelayan 5 %, dana tabungan nelayan 5 % dan biaya pengamanan 5 %).Sedangkan yang 3 %  lagi  dibagi untuk Pemda Tk I 2 % dan 1 % biaya operasional dan pemeliharaan pasar grosir . Kelemahannya adalah bahwa uang tersebut penggunaannya tidak jelas, tidak  diaudit/diperiksa sehingga kepentingan nelayan terabaikan. Oleh karena itu pengawasan dan pengendalian penggunaan uang retribusi ini perlu ditingkatkan.Selain itu apabila aktivitas volume lelangnya kecil, maka biaya operasional lelang yang diperoleh KUD sangat kecil.
·      Seringkali uang retribusi yang disetor ke Pemda Tk I tidak disalurkan ke Pemda Tk II.


DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Perikanan, 1981. Standar Rencana Induk dan Pokok-Pokok   Desain untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan.

Mahyuddin, B. 2001. Peranan  Pelelangan  Ikan Dalam  Meningkatkan Pendapatan Nelayan (Kasus Pelelangan Ikan Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu). Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar