Pemasaran
hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu saat ini adalah tanpa melalui pelelangan. Akibatnya
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang seharusnya merupakan tempat dilaksanakannya
pelelangan kini hanya sebagai tempat penjualan ikan hasil tangkapan antara
nelayan dan pedagang serta bakul. Meskipun tidak ada pelelangan, TPI PPN
Palabuhanratu tetap memiliki daya tarik bagi nelayan untuk menjual hasil
tangkapannya di tempat tersebut. Berikut ini dijelaskan mengenai sejarah
pelelangan dan penyebab tidak adanya pelelangan serta pola pemasaran yang
terjadi saat pelelangan sudah tidak berlangsung lagi.
5.1
Sejarah
pelelangan dan penyebab tidak adanya pelelangan saat ini
Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu didirikan pada tahun 1993. Pembangunan
pelabuhan ini bertujuan sebagai tempat tambat labuh nelayan yang mempunyai fishing ground di Samudera Hindia, dan
agar nelayan bisa memasarkan hasil tangkapannya. Sejak pertama kali dibangun,
pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu adalah pemasaran dengan sistem pelelangan.
Pada saat itu pelelangan di TPI PPN Palabuhanratu dikelola oleh Dinas Perikanan
Kabupaten Sukabumi. Namun, proses pelelangan oleh Dinas Perikanan Kabupaten
Sukabumi hanya berlangsung selama 10 tahun.
Pada
tahun 1997 saat krisis multidimensional melanda Indonesia, pemerintah melalui
menteri Pertanian dan Menteri koperasi dan pemberdayaan industri kecil
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No.132 tahun 1997,
902/Kpts/3/SKB/…../IX/1997 mengenai pelelangan ikan yang tercantum dalam Bab II
pasal 4 ayat 2 yang berbunyi: ‘Kepala
daerah menunjuk KUD sebagai penyelenggara pelelangan ikan setelah memenuhi
syarat’ (Dinas Perikanan Propinsi DKI Jakarta), serta didukung oleh Perda Jabar
No.5 tahun 2005 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan (Dinas Perikanan
Propinsi Jabar). Implementasi dari kebijakan tersebut adalah hampir semua
Tempat Pelelangan (TPI) termasuk di PPN Palabuhanratu dikelola oleh KUD Mina.
Pada Perda Jabar No.5 Tahun 2005, tercantum mengenai izin penyelenggaraan
pelelangan ikan. Isi dari Perda ini mempertegas dari SKB No.132 Tahun 1997. Dalam
Perda Jabar No.5 Tahun 2005 dijelaskan tentang izin penyelenggaraan pelelangan
ikan pada Bab III Pasal 5 dimana penyelenggaraan pelelangan ikan harus memiliki
izin Gubernur. Izin tersebut diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat
yaitu memiliki kekuatan ekonomi yang baik. Selanjutnya dalam Perda Jabar
tersebut dijelaskan kembali jika pada
suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada
Dinas Kabupaten atau Kota.
Adapun
alasan dibalik keluarnya SKB tersebut, menurut Baga (2010) tersebut adalah
untuk memberdayakan Koperasi Unit Desa Mina (KUD Mina) yang tengah kehilangan
citra positif di mata masyarakat. Koperasi juga mengalami masa-masa kritis
dimana kepercayaan dari masyarakat sudah mulai hilang secara perlahan. Selain
itu, koperasi juga mengalami kesulitan dalam pendanaan operasional kegiatan
koperasi akibat unit usahanya yang mulai ‘gulung tikar’. Untuk memberdayakan
kembali koperasi, pemerintah berinisiatif untuk ‘menyerahkan’ pengelolaan
pelelangan ikan kepada koperasi sebagai unit usahanya, karena koperasi dianggap
merupakan lembaga yang gerakannya berasal dari bawah (masyarakat) dan dianggap
mampu untuk menyelenggarakan pelelangan. Menurut Baga (2010) keputusan
pemerintah untuk menyerahkan tanggung jawab pelelangan ikan kepada koperasi
terlalu terburu-buru, karena pada saat itu koperasi sebagai sebuah organisasi berada
dalam keadaan yang tidak baik. Selain itu, koperasi yang ada pada saat itu
merupakan koperasi yang dibentuk oleh pemerintah (top-down) bukan hasil dari gerakan sosial-ekonomi masayarakat.
Sehingga, koperasi yang ada bersifat tidak aspiratif.
Kondisi
koperasi yang seperti diatas bisa dilihat dari pernyataan koresponden nelayan dan
pedagang ikan yang ada disekitar Palabuhanaratu yang menganggap koperasi hanyalah
sebuah nama saja tanpa mengetahui ada kegiatan dan manfaat bagi mereka. Hal ini
menyebabkan pelelangan ikan yang ada di Palabuhanratu tidak berjalan sejak dikelola
oleh KUD Mina Mandiri Sinar Laut pada tahun 2000 sampai sekarang. Menurut pihak
PPN Palabuhanratu, pelelangan yang ada di TPI PPN Palabuhanratu sejak dipegang
oleh KUD Mina hanya berpura-pura mengadakan pelelangan, karena pembeli sudah
ditentukan sebelum pelelangan dimulai.
Sampai saat ini pelelangan ikan belum terlaksana kembali,
meskipun sesekali dilakukan pelelangan dan retribusi pelelangan ikan tetap diberlakukan.
Bahkan pada tahun 2007 mencapai nilai raman yang tinggi sepanjang sejarah TPI PPN
Palabuhanratu yaitu sebesar 1,3 miliar rupiah dan pada tahun tersebut, belum
juga ada pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu.
Berdasarkan
wawancara dengan kepala Cabang Dinas Perikanan yang menangani pelelangan ikan
menyatakan bahwa tidak berfungsinya TPI di PPN Palabuhanratu disebabkan oleh
beberapa aspek, diantaranya:
1. Aspek
Regulasi :
1) Kerjasama
dalam penegakan aturan masih belum tercapai karena kurangnya dukungan pihak terkait.
2)
Belum ada kejelasan
mengenai aturan-aturan untuk ikan yang tidak diperkenankan untuk dilelang.
2. Aspek
Sosial :
1) Kesadaran
masyarakat akan arti pentingnya pelelangan ikan masih rendah, pola pikir
seperti inilah yang harus diubah.
2) Adanya
multifungsi usaha/multifungsi profesi sehingga menyulitkan peran seseorang
dalam aktivitas lelang. Contoh : pengusaha (pemilik kapal) di palabuhanratu
biasanya merangkap sebagai bakul.
3) Adanya
sistem ‘langgan’ yang sulit untuk diubah. Sistem langgan ini biasanya terjadi
ketika nelayan tidak memiliki modal untuk melaut maka mereka akan meminjam uang
kepada juragan, sehingga hasil tangkapan nelayan harus diserahkan sepenuhnya
kepada juragan tersebut.
3. Aspek
teknis : tata letak areal bongkar yang
tidak sesuai. Saat ini dermaga untuk area bongkar digunakan kapal untuk
bersandar akibat kolam pelabuhan yang telah overcapacity.
Penyebab
pelelangan sebagaimana disebutkan oleh Kepala Cabang Dinas diatas dapat terjadi
karena adanya perpindahan pengelolaan TPI dari Dinas Perikanan ke KUD Mina. Menurut
pengelola TPI, pergantian pengelola ini menyebabkan adanya perbedaan
pengelolaan pelelangan. Saat dikelola oleh Dinas Perikanan, Kepala TPI bertindak
tegas terhadap pelaku pelelangan jika terjadi pelanggaran, hal berbeda dilakukan oleh pengelola KUD sebagai
Kepala TPI yang kurang tegas dalam bertindak sehingga ketiga aspek tersebut
bisa muncul. Penyebab lainnya adalah karena pengelola KUD tidak mengerti benar Peraturan
Daerah Propinsi Jawa Barat mengenai pelelangan. Sehingga ada beberapa ikan
hasil tangkapan yang tidak dilelang. Keadaan ini tidak disertai dengan
komunikasi yang baik antara pengelola TPI dengan pelaku pelelangan, sehingga
muncul masalah sebagaimana disebutkan oleh Kepala Cabang Dinas diatas.
5.2
Pemasaran
dan pendistribusian hasil tangkapan ini
Pada kondisi ideal, mekanisme pemasaran yang terjadi adalah setelah ikan
didaratkan di dermaga adalah ikan langsung ditangani oleh
ABK kapal tersebut maupun TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) dari kapal tersebut.
Selama proses pembongkaran, ikan disortir menurut jenis, ukuran dan mutu.
Setelah itu kemudian
dilakukan proses penimbangan di lapak masing-masing
atau didepan gedung TPI. Proses
penimbangan ada yang benar-benar menggunakan timbangan atau hanya dikira-kira
saja. Apabila ikan hasil tangkapan telah terjual kepada bakul, maka bakul membayar uang retribusi kepada TPI setelah proses
penimbangan selesai.
Pelelangan ikan
hasil tangkapan yang tidak berjalan dengan baik, sangat disesalkan oleh sebagian
nelayan yang telah lama ada di PPN Palabuhanratu dan sempat mengalami periode
pelelangan ikan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi ataupun nelayan yang
pernah mengikuti pelelangan di daerah lain. Nelayan, terutama nelayan ABK, yang
pernah ikut pelelangan ikan merasakan banyaknya keuntungan yang diperoleh dari
pelelangan. Menurut nelayan, keuntungan
yang diperoleh mereka yaitu nelayan menjadi tahu berapa harga pasaran untuk
ikan yang dijual dan ikan hasil tangkapan yang dilelang mempunyai harga jual
yang tinggi. Nelayan-nelayan yang mengungkapkan ini pada umumnya sering ikut
pelelangan di pelabuhan-pelabuhan yang ada di daerah Banten seperti di
Binuangeun.
Akibat dari
tidak berjalannya pelelangan di Palabuhanratu, pemasaran hasil tangkapan di PPN
Palabuhanratu terpusat di bakul (pedagang ikan) dengan sistem ijon. Nelayan
Palabuhanratu mengungkapkan bahwa dengan tidak adanya pelelangan, nelayan tidak
memperoleh informasi yang benar dalam masalah harga ikan, karena proses
pemasaran hasil tangkapan yang ada saat ini tidak terbuka, malainkan dengan
sistem ijon.
Sistem ijon ini
merupakan sistem yang sangat merugikan nelayan. Biasanya bakul/tauke/tengkulak
memberikan pinjaman terlebih dahulu kepada nelayan sebagai modal melaut,
setelah mendapat ikan, maka bakul/tauke/tengkulak yang berhak menjual ikan dan
menentukan harga beli dari nelayan adalah bakul/tauke/tengkulak tersebut. Dalam
sistem ini, nelayan tidak mengetahui secara pasti berapa harga ikan yang dimilikinya.
Pemasaran hasil
tangkapan di PPN Palabuhanratu, berdasarkan asal ikan yang dipasarkan di PPN
Palabuhanratu, terbagi menjadi dua yaitu pemasaran ikan hasil tangkapan yang
didaratkan (melalui laut) dan pemasaran ikan hasil tangkapan yang didatangkan
melalui jalur darat (melalui darat). Terbentuknya dua pola pemasaran di PPN
Palabuhanratu disebabkan oleh TPI yang tidak berfungsi dengan baik.
5.2.1
Potensi
pasar hasil tangkapan
Kecamatan
Palabuhanratu merupakan daerah pemasaran hasil tangkapan yang potensial di
Kabupaten Sukabumi. Selain merupakan daerah berlokasinya pelabuhan perikanan,
juga merupakan daerah pariwisata bahari. Banyak wisatawan yang datang dari
berbagai daerah ke kecamatan ini. Bahkan pada saat penelitian berlangsung,
diamati banyak wisatawan mancanegara yang datang dan menikmati kuliner seafood.
Indikasi
lain bahwa Palabuhanratu merupakan pasar yang potensial adalah banyaknya
nelayan yang berasal dari daerah pesisir lain di Kabupaten Sukabumi yang
mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu. Selain itu banyak pula
ikan yang datang berasal dari daerah lain ke PPN Palabuhanratu. Selain
permintaan lokal yang berasal dari sektor pariwisata, permintaan ikan yang
berasal dari PPN Palabuhanratu juga datang dari luar kota Palabuhanratu bahkan
ekspor.
Banyaknya
permintaan pasar terhadap ikan yang berasal dari PPN Palabuhanratu menyebabkan
para bakul ataupun pengumpul mendatangkan ikan yang berasal dari luar PPN
Palabuhanratu. Ikan yang didatangkan pada umumnya berasal dari wilayah pesisir
Kabupaten Sukabumi seperti Cisolok dan Ujung Genteng. Selain dari wilayah
pesisir Kabupaten Sukabumi, ikan yang dipasarkan di PPN Palabuhanratu juga
berasal dari Jakarta, Lampung, Banten, Indramayu, Cianjur dan Juwana.
Pada
Tabel 26 dan Gambar 14 dibawah ini, dapat dilihat bahwa pada tahun 2008 Jakarta
merupakan daerah yang banyak memasarkan hasil tangkapannya ke PPN Palabuhanratu
dengan jumlah 1.613,5 ton, sedangkan yang paling sedikit adalah daerah
Indramayu (266 ton). Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar yang ada di PPN
Palabuhanratu bukan hanya menarik minat bagi daerah pesisir yang ada di
Kabupaten Sukabumi, tapi juga daerah luar Kabupaten Sukabumi. Menurut agen-agen
maupun pedagang grosir menyatakan bahwa pengiriman hasil tangkapan dari luar
daerah Kabupaten Sukabumi ke PPN Palabuhanratu pada umumnya untuk mensuplai
sektor pariwisata bahari seperti kebutuhan restoran dan hotel atau tempat
penginapan yang ada ada di Palabuhanratu atau diwilayah Bogor dan Cianjur untuk
mendapatkan ikan yang lebih beragam.
Tabel
26 Produksi ikan per bulan dan per daerah yang disalurkan lewat darat ke PPN
Palabuhanratu tahun 2008 (dalam ton)
Bulan
|
Daerah
asal Ikan
|
Jumlah
|
|||||
Jakarta
|
Cisolok
|
U.Genteng
|
Binuangeun
|
Indramayu
|
Juwana
|
||
Jan
|
233
|
3,4
|
39,2
|
7,5
|
32
|
76
|
391,1
|
Feb
|
105
|
2
|
15,2
|
4,8
|
20
|
26
|
173,0
|
Mar
|
115
|
2,4
|
25,2
|
9,8
|
4
|
26
|
182,4
|
Apr
|
105
|
8,4
|
38,2
|
26,5
|
4,5
|
33
|
215,6
|
Mei
|
114
|
5,9
|
25
|
20,3
|
17
|
45
|
227,7
|
Juni
|
132
|
7,9
|
40
|
26,8
|
55
|
570
|
831,7
|
July
|
139
|
18,3
|
85
|
35,6
|
45
|
85
|
407,9
|
Aug
|
123,5
|
14,4
|
70
|
35,9
|
25
|
35
|
303,8
|
Sept
|
124,5
|
11
|
55
|
27,3
|
19
|
48
|
284,8
|
Okt
|
132,2
|
12
|
60
|
26,5
|
17,5
|
51
|
299,2
|
Nov
|
135,8
|
13,7
|
65
|
33,0
|
15
|
54
|
316,5
|
Des
|
154,5
|
13,5
|
70
|
36,9
|
12
|
57
|
343,9
|
Rata-rata
|
134,5
|
9,4
|
49,0
|
24,2
|
22,2
|
92,2
|
331,5
|
Simpangan
|
32,784
|
5
|
21
|
11
|
15
|
145
|
167
|
Kisaran
|
105-233
|
2-18
|
15-85
|
5-37
|
4-55
|
26-570
|
172-823
|
Sumber:Statistik
PPN Palabuhanratu 2008
5.1.1
Pemasaran
ikan hasil tangkapan yang didaratkan melalui laut
1)
Pemasaran
melalui TPI
Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) di PPN Palabuhanratu meskipun tidak digunakan dalam
proses pelelangan ikan, tetapi nelayan dan pedagang lebih suka bertransaksi di
TPI karena dekat dengan tempat pedagang ikan menjual ikan hasil pembeliannya. Terdapat
tiga asal produksi hasil tangkapan yang hasil tangkapannya sering dijual/dipasarkan
di TPI, yaitu produksi hasil tangkapan yang berasal dari armada penangkapan
bagan, payang, dan gillnet.
Dalam
sistem pemasaran ini, ikan hasil tangkapan dari nelayan dijual/dipasarkan oleh
bakul; dalam hal ini bakul menjadi penjual.
Pada saat pemasaran, bakul menjual tanpa ditimbang terlebih dahulu, besaran
ditentukan berat berdasarkan kepada perkiraan (taksiran) saja. Cara menjual
ikan hasil tangkapan nelayan oleh bakul mirip seperti proses lelang. Terjadi
tawar menawar antara pembeli (pedagang pengecer, pengolah) dengan bakul, dan
ikan akan diputuskan terjual jika telah mendapatkan harga tertinggi. Alur
pemasaran pada pola pemasaran ini terlihat seperti pada Gambar 10.
Waktu
pemasaran ketiga armada penangkapan diatas berbeda-beda. Pemilik bagan dan
gillnet menjual hasil tangkapn pada pagi hari dan payang pada sore hari. Bagan
dan gillnet meskipun mempunyai waktu pemasaran yang sama tapi tidak pernah
menjual hasil tangkapan pada waktu bersamaan. Biasanya hasil tangkapan bagan
dijual terlebih dahulu karena waktu penadaratannya lebih pagi.
Antara
bagan dan gillnet tidak terjadi persaingan dalam menjual hasil tangkapan yang
mereka peroleh, karena hasil tangkapan dua alat tangkap ini umumnya
berbeda-beda. Alat tangkap bagan lebih
banyak menangkap ikan tembang dan tongkol yang masih berukuran kecil, sedangkan
alat tangkap gillnet lebih banyak
menangkap ikan tongkol yang ukuran lumayan besar.
Ikan
hasil tangkapan yang dipasarkan di TPI PPN Palabuhanratu tidak hanya untuk
konsumsi lokal saja, namun juga dijual ke luar Kabupaten Sukabumi seperti Jakarta,
Bandung, Cianjur dan Bogor bagi pedagang yang membeli dalam jumlah banyak.
Pedagang dan nelayan yang melakukan transaksi seperti diatas tidak dikenakan
retribusi. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan pengelola pelelangan,
tidak ditariknya retribusi terhadap proses transaksi diatas karena keuntungan
yang diperoleh nelayan masih tidak bisa menutupi modal awal untuk melakukan
penangkapan.
1)
Pemasaran
tanpa melalui TPI
Sistem
pemasaran tanpa melalui TPI sebenarnya didominasi oleh ikan dengan tujuan
ekspor, seperti tuna dan layur. Ikan-ikan inilah yang kemudian oleh pihak TPI PPN
Palabuhanratu menjadi sasaran penarikan retribusi. Besarnya retribusi yang
ditarik adalah sebesar 3% untuk nelayan dan 2% untuk pedagang/pengolah pembeli.
Penarikan retribusi dilakukan setelah dilakukan penimbangan ikan.
Selain
untuk ekspor, sebagian hasil tangkapan tuna dan layur adalah untuk konsumsi
lokal. Dalam menjual hasil tangkapannya, nelayan PPN Palabuhanratu menjual
hasil tangkapannya melalui bakul dengan alasan menjual kepada bakul karena saat
musim paceklik, biaya melaut dibiayai oleh bakul.
Pemilik
armada penangkapan yang melakukan kegiatan pemasaran tanpa melalui TPI adalah
armada penangkapan tuna seperti purse
seine dan kapal rumpon. Kapal rumpon ini sebenarnya adalah kapal pancing
tonda yang menangkap ikan di wilayah perairan yang telah dipasangi rumpon
sehingga dikenal dengan nama kapal rumpon.
Kapal
penangkap tuna seperti purse seine,
berasal dari berbagai daerah, seperti dari Sibolga, Cilacap dan Jakarta (Pane
2009b). Kapal-kapal ini tidak terdaftar di PPN Palabuhanratu.
Mengenai jumlah kapal ini juga tidak tercatat secara pasti di PPN Palabuhanratu
maupun di TPI. Alur pemasaran pada pola pemasaran ini, dapat terlihat pada (Gambar
11).
Berdasarkan
hasil wawancara, pihak responden bakul sebenarnya menginginkan ikan kualitas
ekspor tersebut untuk dilelang. Namun, pengusaha ekspor dan pemilik kapal yang
ada di PPN Palabuhanratu menyatakan bahwa jika ikan untuk ekspor dilelang maka
akan terjadi penurunan mutu. Pengusaha ekspor juga menyatakan bahwa penyebabkan
ikan ekspor tidak dilelang adalah karena fasilitas yang mendukung untuk
penyelenggaraan pelelangan untuk ikan khusus ekspor belum tersedia serta daya
beli bakul terhadap ikan-ikan ekspor juga rendah. Akibatnya nelayan dan
pengekspor merasa lebih senang memasarkan ikan hasil tangkapannya dengan cara
menjual langsung kepada bakul atau kepala pengumpul untuk kemudian diekspor.
Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu sendiri oleh pengusaha ekspor dijadikan
sebagai cabang cold storage dan
tempat untuk packaging; seperti yang
dilakukan oleh pengekspor ikan layur. Perusahaan ini membuka cabang di
Palabuhanratu berupa cold storage dan
tempat packaging (pengepakan). Ikan
layur dibeli dari nelayan setempat melalui agen layur. Untuk kapal purse seine, mereka menjadikan PPN
Palabuhanratu sebagai tempat untuk membongkar hasil tangkapan untuk kemudian
diangkut dengan mobil cold box ke
Jakarta.
5.1.1
Pemasaran
ikan yang didatangkan melalui jalur darat ke PPN Palabuhanratu
Ikan
hasil tangkapan dari luar PPN Palabuhanratu merupakan ikan yang datang melalui jalur
darat. Ikan yang datang biasanya dari daerah pesisir di Kabupaten Sukabumi
meskipun sebagian datang dari berbagai daerah di Jawa Barat, Jakarta, Lampung
dan Juwana. Ikan didatangkan oleh para bakul karena permintaan yang tinggi di
PPN Palabuhanratu. Permintaan pasar yang tinggi di PPN Palabuhanratu sangatlah
wajar mengingat PPN Palabuhanratu selain sebagai pelabuhan perikanan tapi juga
merupakan wilayah wisata.
Proses
pemasaran yang terjadi diatas tidak seperti ikan yang didaratkan dari laut
dimana pedagang pengecer atau pengolah dapat membeli langsung ke bakul. Pada
sistem pemasaran dari ikan yang didatangkan melalui jalur darat, bakul sudah
mempunyai pedagang yang dipercaya untuk menjual ikannya. Tujuan ikan yang
didatangkan dari jalan darat adalah pembeli lokal dan wisatawan yang ada di
sekitar PPN Palabuhanratu.
5.1.1
Pendistribusian
hasil tangkapan keluar PPN Palabuhanratu saat ini.
Berdasarkan hasil penelitian, ikan hasil tangkapan yang didistribusikan tidak
hanya ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu saja. Ada juga ikan yang didatangkan
dari daerah sekitar Palabuhanratu untuk kemudian dikirim ke daerah lain melalui
pedagang dan distributor/agen yang ada di Palabuhanratu.
Untuk memperlancar proses pendistribusian hasil tangkapan, baik itu
segar maupun olahan dari PPN Palabuhanratu ke daerah lain, maka diperlukan prasarana
dan sarana yan memadai. PPN Pelabuhan Perikanan
sendiri mempunyai akses yang baik terhadap daerah-daerah distribusi hasil
perikanannya, meskipun masih memerlukan perbaikan. Terutama prasaran jalan raya
yang menghubungkan Kecamatan Palabuhanratu dengan daerah Ciawi yang merupakan
‘pintu gerbang’ ke jalan tol Jagorawi. Hal yang sama terjadi untuk sarana jalan
ke antar daerah baik itu menuju Bogor, Bandung, maupun daerah distibusi
lainnya. Jalan yang dilalui merupakan jalan raya yang berukuran kecil yang
hanya cukup untuk 2 mobil saja. Untuk jalur ekspor, ikan yang akan diekspor
harus melalui Jakarta dulu sebelum dikirim ke negara tujuan. Permasalahan akan
muncul saat melalui jalan Palabuhanratu-Ciawi, kamungkinan terjebak kemacetan
sangat mungkin terjadi karena sempitnya jalan dan padatnya lalu lintas. Tapi
setelah tidak akan menjadi maslah karena mulai masuk ke jalan tol Jagorawi. Selama
ini jalan menuju Palabuhanratu masih berukuran sempit dan sering mengalami
kemacetan. Kemacetan yang sering dialami tentu saja sangat menggangu proses
pendistribusian ikan, karena sifatnya yang mudah rusak sehingga harus cepat
sampai ke tempat tujuan.terlebih wilayah
distribusi ikan hasil
tangkapan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu cukup beragam, mulai dari
lingkup lokal hingga internasional (tujuan ekspor).
Ikan
hasil tangkapan tujuan
pasar lokal biasanya hanya dikonsumsi oleh masyarakat sekitar Palabuhanratu
saja, diantaranya daerah Gumelar, Citepus
dan Cisolok. Di pasar ikan tradisional PPN
Palabuhanratu, selain konsumen lokal sekitar Palabuhanratu juga turut diramaikan oleh para konsumen dari luar kota
seperti Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur dan Bogor yang sedang berwisata ke
PPN Palabuhanratu. Mereka sengaja membeli ikan baik dalam bentuk segar maupun
olahan sebagai ‘buah tangan’.
Jenis ikan
tujuan pasar antar daerah/kota adalah tuna, cakalang, tongkol dan layur.
Ikan-ikan ini dikirim ke daerah Bogor, Cianjur, Bandung, Jakarta, Indramayu dan
Banten. Ikan tersebut dikirim menggunakan mobil pick-up dengan bak terbuka. Ikan dimasukkan kedalam blong yang
sudah diisi es dan air. Untuk mengirim ikan ke daerah seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, menurut pedagang grosir yaitu melalui agen grosir atau
pengiriman secara kolektif. Pengiriman secara kolektif ini yaitu pengiriman
secara bersama akan tetapi ikan hasil tangkapan merupakan milik dari
masing-masing nelayan atau pedagang.
Untuk jenis ikan tujuan pasar ekspor adalah ikan tuna, layur, dan swanggi. Terdapat perusahaan pengumpul/agen khusus
hasil tangkapan tuna untuk ekspor ke Jepang
melalui Jakarta, sedangkan untuk
hasil tangkapan layur akan diekspor oleh PT. Agro
Global Bisnis (PT. AGB) menuju Korea Selatan juga
melalui Jakarta.
Pada
tabel dibawah dapat kita ketahui bahwa jumlah total ikan yang didistribusikan
dari PPN Palabuhanratu ke berbagai daerah mencapai 3.169 ton pada tahun 2008.
Dari jumlah tersebut, distribusi ikan terbanyak terjadi pada bulan Januari
yaitu sebanyak 6,1 ton atau sebesar 19,3%, seperti terlihat pada Tabel 27 dan Gambar
14.
Jumlah
ikan segar yang didistribusikan dari PPN Palabuhanratu selama tahun 2008 adalah
sebanyak 3.169.979 kg. Ikan yang didistribusikan, dipasarkan ke pasar-pasar
ikan yang ada di Jakarta, Kota Sukabumi, Bandung, Cianjur, Banten dan
lain-lain. Pendistribusian terbesar adalah ke daerah Jakarta dengan jumlah
2.075.967 kg atau 65,49% dari total ikan yang didistribusikan dari PPN
Palabuhanratu tahun 2008. Besarnya ikan yang didistribusikan ke Jakarta tidak
lepas dari adanya agen/pedagang pengumpul yang melakukan pemasaran antar kota di
PPN Palabuhanratu.
Tabel
27 Distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu Tahun 2008
No
|
Bulan
|
Jumlah
Ikan Segar (kg) dan Kota Tujuan Distribusi
|
Jumlah
(kg)
|
|||||||
P.ratu
|
Sukabumi
|
Bandung
|
Cianjur
|
Bogor
|
Jakarta
|
Banten
|
Ekspor
|
|||
1
|
Jan
|
32.321
|
1.219
|
-
|
-
|
-
|
337.216
|
47.434
|
35.148
|
612.331
|
2
|
Feb
|
16.343
|
6.114
|
-
|
210.992
|
6.265
|
176.151
|
-
|
10.733
|
426.598
|
3
|
Mar
|
27.468
|
7.487
|
70.000
|
-
|
-
|
21.374
|
30.000
|
107.788
|
264.117
|
4
|
Apr
|
9.618
|
9.216
|
-
|
6.780
|
-
|
114.340
|
-
|
24.781
|
164.735
|
5
|
Mei
|
26.397
|
3.500
|
-
|
3.000
|
-
|
70.457
|
-
|
9.735
|
113.089
|
6
|
Juni
|
33.660
|
-
|
-
|
-
|
-
|
305.746
|
-
|
4.551
|
343.957
|
7
|
Juli
|
30.532
|
700
|
-
|
700
|
800
|
167.642
|
-
|
9.349
|
209.723
|
8
|
Aug
|
21.938
|
1.010
|
-
|
1.381
|
800
|
91.996
|
-
|
19.512
|
136.637
|
9
|
Sept
|
12.178
|
2.688
|
-
|
744
|
1.702
|
102.037
|
-
|
3.538
|
122.887
|
10
|
Okt
|
20.238
|
4.769
|
-
|
-
|
-
|
192.422
|
-
|
5.608
|
223.037
|
11
|
Nov
|
13.128
|
2.765
|
-
|
-
|
-
|
135.006
|
-
|
17.359
|
168.258
|
12
|
Des
|
6.977
|
883
|
-
|
-
|
-
|
361.580
|
-
|
15.170
|
384.610
|
Rata-rata
|
20.900
|
3.668
|
70.000
|
37.266
|
2.392
|
172.997
|
38.717
|
21.939
|
264.165
|
|
Simpangan
|
8.85
|
2.65
|
0
|
54.96
|
1.31
|
104.31
|
3.56
|
27.33
|
144.70
|
|
Kisaran
|
33.660-6.977
|
9.216-700
|
70.000-0
|
210.992-700
|
6.265-800
|
361.580-21.374
|
47.434-30.000
|
107.788-3.538
|
612.331-113.089
|
Sumber:
Statistik PPN Palabuhanratu 2008
Sebagain
dari jumlah ikan yang didistribusikan tersebut diatas sebanyak 76,59% atau
158.993 kg adalah diekspor. Ekspor dilakukan oleh perwakilan perusahaan di
daerah seperti PT. AGB dan PT. URI yang bergerak di bidang ekspor layur serta
perusahaan tuna longline yang
menjadikan PPN Palabuhanratu sebagai fishing
base
Secara
umum, distribusi yang dilakukan oleh pedagang ataupun distributor ikan masih
menggunakan jalur darat. Sarana transportasi yang digunakan dalam melakukan
distribusi ikan untuk wilayah Kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Bogor adalah
menggunakan mobil pick-up dengan bak
terbuka. Ikan dimasukkan kedalam wadah yang bernama blong yang didalamnya
ditambahkan es balok. Perlakuan berbeda diberikan kepada ikan yang akan dikirim
kedaerah Bandung dan Jakarta. Untuk daerah distribusi tersebut, distributor
menyewa mobil boks dengan fasilitas ruang chilling
room.
5.1
Penanganan
mutu pada pemasaran hasil tangkapan di PPN Palabuhanratu
Mutu merupakan bagian terpenting dalam
meningkatkan daya tawar saat pemasaran ikan, baik melalui pelelangan ataupun
tanpa pelelangan. Mutu juga menunjukkan kualitas dari hasil tangkapan yang
didaratkan. Sehingga, penanganan atas mutu ikan hasil tangkapan sangat penting
dilakukan oleh nelayan. Ada tiga cara utama untuk memperlambat penurunan kualitas
pada ikan: kehati-hatian dalam penanganan, kebersihan, dan
menjaga produk tetap dingin. Pentingnya
kehati-hatian dalam penanganan tidak
dapat dipungkiri karena bakteri pembusuk dapat
masuk melalui sayatan yang terjadi
selama penanganan, sehingga mempercepat pembusukan. Penanganan yang
tepat akan menjamin kualitas produk
yang lebih segar dan tinggi (Anonymous 2008). Pane (2008) mengungkapkan bahwa penggunaan
basket hasil tangkapan mempengaruhi mutu ikan secara berbeda: membantu
mempertahankan mutu ikan sampai menurunkan mutu ikan. Di
PPN Palabuhanratu, berdasarkan pengamatan organoleptik, mutu ikan yang didaratkan
untuk konsumsi lokal berkisar antara 4-8 skala organoleptik. Untuk ikan ekspor,
skala organoleptik berkisar antara 8-9 skala organoleptik (Tabel 28).
Tabel 28 Nilai
organoleptik ikan berdasarkan jenis basket yang digunakan dan tujuan
distribusinya
Alat tangkap
|
Penanganan mutu
|
Jenis basket
|
Tujuan distribusi
|
Kondisi ikan saat didaratkan
|
Nilai organoleptik
|
Bagan
|
Tidak
menggunakan es
|
Keranjang
bambu
|
Lokal
|
Baik.
Tapi badan ikan banyak yang hancur.
|
7-8
|
Gillnet
|
Menggunakan
es balok
|
Blong
& trays
|
Lokal
|
Tidak
segar
|
6-7,5
|
Pancing
tonda
|
Es
balok
Es
curah
|
Blong
&
Kotak
fiberglass
|
Lokal
Ekspor
|
Segar
pada bagian atas, tapi tidak segar pada bagian bawah.
Segar,
|
4-6
8-9
|
Pancing
layur
|
Es
balok
|
Kotak
styrofoam
Basket
|
Ekspor
Lokal
|
Segar
Tidak
segar
|
8-9
6-7
|
Payang
|
Es
balok
|
Blong
|
Lokal
|
Cukup
segar
|
7-8
|
Berdasarkan
Tabel 28 diatas, secara umum kesadaran dalam penanganan mutu oleh nelayan di
PPN Palabuhanratu masih sangat kurang. Hasil tangkapan alat tangkap bagan
memiliki tingkat kesegaran paling tinggi, karena ikan ditangkap pada tengah
malam dan pada pagi hari sudah didaratkan. Namun hasil tangkapan bagan
mempunyai kelemahan dari sisi keutuhan ikan. Banyaknya tubuh ikan hasil
tangkapan bagan yang rusak yang diakibatkan oleh penggunaan keranjang yang
terbuat dari bambu. Keranjang ikan yang terbuat dari bambu bersifat elastis
menyebabkan bentuk keranjang berubah-rubah oleh berat ikan sehingga
mengakibatkan ikan tergencet didalamnya (Pane, 2008). Selain itu pada alat
tangkap bagan juga tidak menggunakan es sebagai penghambat laju penurunan mutu
karena nelayan beranggapan hanya sebentar. Kondisi ikan yang tersayat oleh
keranjang bambu serta tidak menggunakan es dalam penanganannya, bisa
menyebabkan penurunan mutu pada ikan hasil tangkapan bagan.
Alat
tangkap pancing tonda yang digunakan nelayan PPN Palabuhanratu merupakan alat
tangkap yang paling lama berada di fishing
ground. Pada umumnya alat tangkap ini berada di fishing ground selama 1 minggu. Lamanya waktu dilaut tidak disertai
dengan adanya kemampuan yang memadai dari pihak nelayan dalam menangani mutu
ikan hasil tangkapan. Banyak ikan hasil tangkapan pancing tonda yang terdiri
dari ikan bernilai ekonomis penting seperti tuna, cakalang dan tongkol
didaratkan dalam keadaan tidak segar terutama ikan yang berada di bagian bawah
blong. Ikan tersebut mengalami kerusakan pada bagian perut. Jika dilakukan
penilaian secara organoleptik, maka ikan tersebut berada pada skala organoleptik
4. Penggunaan es pun hanya digunakan pada bagian atas ikan saja. Ikan yang
disimpan pada bagian bawah mengalami penurunan mutu karena ikan yang berada
dibawah tertekan, akibat isi blong
yang besar (120 kg) (Pane 2008).
Nelayan
yang menggunakan alat tangkap gillnet dan payang sebagai alat penangkapan, ikan
hasil tangkapannya umumnya mengalami kerusakan pada bagian perut dan secara
keseluruhan kondisi mutu ikannya yang kurang dengan skala organoleptik berkisar
antara 6-8 skala organoleptik. Hal ini diakibatkan nelayan menggunakan blong dan kotak fiber sebagai wadah
untuk menyimpan hasil tangkapan. Kerusakan pada ikan hasil tangkapan payang dan
gillnet karena banyaknya ikan dalam
satu wadah. Nelayan biasanya menggunakan basket/wadah hasil tangkapan sesuai dengan
kapasitas maksimal dari basket tersebut. Jika belum penuh dalam satu blong, maka blong yang lain tidak akan digunakan. Untuk menghambat penurunan
mutu, nelayan menggunakan es curah dan es balok. Blong dan kotak fiber yang digunakan tidak memiliki lubang
dibawahnya. Menurut Pane (2008) tanpa adanya lubang pada wadah menyebabkan air
yang berasal dari es yang mencair tidak keluar dan menjadi penyebab tambahan
semakin cepatnya mutu ikan menurun.
Berdasarkan
uraian diatas, setiap nelayan tidak mempunyai perbedaan dalam penanganan ikan.
Prinsip kehati-hatian dalam penanganan, kebersihan, dan menjaga produk tetap
dingin, dilakukan oleh nelayan dengan sangat
kurang. Lembaga yang bertugas menangani mutu ikan di PPN Palabuhanratu adalah
Laboratorium Bina Mutu Hasil Perikanan. Mahyuddin (2008) mengungkapkan bahwa
lembaga ini melakukan pengujian organoleptik dan kandungan formalin pada hasil
tangkapan nelayan. Menurut pengamatan dan wawancara selama penelitian
berlangsung, lembaga ini tidak memberikan himbauan kepada nelayan mengenai cara
penanganan mutu ikan baik itu berupa pengumuman, pelatihan, poster maupun
teguran langsung. Pengarahan hanya diberikan kepada pedagang ikan yang ada di
dalam resto, secara tidak langsung melalui pemasangan poster dan secara
langsung ke resto dengan melakukan kunjungan. Resto ini dibangun atas kerjasama
pihak pengelola PPN Palabuhanratu dengan Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi.
Sedangkan dipasar ikan tidak ada hibauan mengenai mutu ikan yang harus dijual
atau cara penanganan ikan yang baik.
Hal
berbeda terjadi ketika peneliti melakukan kunjungan ke PPI Muara Angke. Disana
dipasang berbagai macam poster atau himbauan yang berisi mengenai penanganan
mutu yang baik dan manfaatnya. Poster tersebut dipasang disekitar TPI, dermaga
pendaratan dan daerah penjualan ikan. Dalam poster juga ditulis mengenai bahaya
penggunaan formalin dan zat aditif lainnya yang berbahaya. Seharusnya lembaga
Laboratorium Bina Mutu Hasil Perikanan melakukan hal yang sama seperti di PPI
Muara Angke. Informasi mengenai tata cara penanganan ikan yang baik disertai
manfaatnya serta bahaya penggunaan formalin dan zat aditif lainnya seharusnya
bisa diperoleh oleh nelayan, pedagang yang ada di PPN Palabuhanratu.
Lemahnya
kesadaran penanganan mutu ikan di PPN Palabuhanratu oleh nelayan maupun
pedagang diakui oleh pihak pengelola pelabuhan dan TPI. Pengelola pelabuhan dan
TPI juga menyatakan pendapatnya bahwa sangat sulit dalam menangani mutu ikan di
sisi nelayan dan pedagang, karena kesadaraan konsumen dalam membeli ikan belum
ada. Menurut mereka ikan dengan kualitas apapun pasti terjual habis di PPN
Palabuhanratu. Hal ini menjadi penyebab nelayan dan pedagang tidak menghiraukan
mutu ikan yang ditangkap ataupun yang dipasarkan.
Pihak
pengelola pelabuhan dan TPI seharusnya menjadi lembaga yang mampu mengontrol
kualitas mutu ikan yang didaratkan. Baik itu melalui pemasangan poster atau
himbauan langsung kepada nelayan dan pedagang. Pane (2008) mengungkapkan bahwa
semua ikan konsumsi mutunya harus layak konsumsi. Selanjutnya Pane menyatakan
bahwa di Indonesia menurut Badan Standar Nasional (2006) ikan layak konsumsi
mempunyai skala organoleptik antara 6-9, tapi standar yang lebih tinggi
diterapkan oleh negara-negara di Eropa dimana ikan layak konsumsi harus
mempunyai mutu dengan skala organoleptik berkisar antara 8-9.
Untuk
penanganan mutu, nelayan dengan alat tangkap rawai layur dan beberapa armada
pancing tonda dengan prioritas ekspor, sudah selangkah lebih maju. Nelayan ini
mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan pengarahan mengenai cara menangani ikan
agar tidak rusak dari pihak pengusaha ekspor. Nelayan layur pun menyadari
dengan sendirinya, bahwa jika kualitas ikan yang ditangkap memiliki mutu yang
rendah, maka nelayan tersebut akan mengalami kerugian. Hal ini terjadi karena
harga ikannya akan menjadi murah bahkan ditolak oleh pengusaha ekspor
dibandingkan bila mutunya lebih baik.
Secara
umum, penanganan mutu ikan oleh nelayan dan pedagang di PPN Palabuhanratu baru
sebatas penggunaan es balok dan es curah jumlahnya juga belum memadai sehingga
secara umum mutu ikan belum terjaga dengan baik. Penggunaan refrigerator pada palka kapal seperti
yang dilakukan oleh nelayan-nelayan di PPI Muara Angke masih belum diterapkan
di PPN Palabuhanratu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar