Pelelangan ikan adalah suatu
kegiatan disuatu tempat pelelangan ikan guna mempertemukan antara penjual dan
pembeli ikan sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang mereka sepakati
bersama. Dengan demikian
pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai tata niaga ikan.
Pelaksanaan
pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu diatur oleh
Perda No 10 dan Perda No 11 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa
Barat.
Berdasarkan
UU No 34/2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah ternyata propinsi hanya
mengatur 4 jenis pajak yakni:
(1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di
atas air,
(2) bea balik nama kendaran bermotor dan
kendaraan di atas air,
(3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan
(4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah serta air permukaan.
Berdasarkan
ketentuan diatas, maka peraturan pelelangan ikan seharusnya dikeluarkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota bukan oleh Pemerintah Propinsi. Hal ini menjadi
masalah tersendiri karena lokasi pelelangan ikan berada di Kabupaten/Kota yang
bukan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi oleh Perda yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Propinsi. Sehingga mengakibatkan pengawasan dan pengendalian
terhadap aktivitas pelelangan ikan disetiap pelabuhan perikanan tidak baik dan
hasilnya tidak optimal. Selain itu uang hasil pungutan retribusi sebagian
diambil untuk Pemerintah Propinsi sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
tidak berdaya mengatasi masalah-masalah pelelangan ikan, misalnya penyediaan
sarana pelelangan yang memadai, penyediaan biaya petugas lelang, kebersihan dan
keamanan tempat pelelangan ikan dan biaya operasional gedung tempat pelelangan
ikan.
Secara kelembagaan yang melaksanakan
kegiatan pelelangan ikan adalah KUD Mina. Kondisi manajemen KUD yang belum
baik, SDM pengurus yang masih rendah tingkat pendidikannya dan kurang luas
pengetahuan dan pengalamannya, sikap dan perilaku pengurus yang kurang
disenangi anggotanya, modal KUD yang belum memadai sehingga mengakibatkan KUD
tidak mengakar dalam alam nelayan setempat untuk selanjutnya pelelangan ikan
tidak dapat dijalankan yang mengakibatkan nilai jual yang seharusnya besar,
namun hasil yang diperoleh sangat kecil.
Kondisi
keamanan dan ketertiban dilokasi tempat pelelangan ikan, terkesan banyak preman
dan jawaranya yang sukar diberantas karena sudah lama terjadi dan hal ini
merupakan sumber mata pencahariannya.
Kebersihan
tempat pelelangan ikan yang kurang baik, akibat dari biaya operasional petugas kebersihan kurang tersedia. Kondisi
fasilitas tempat pelelangan ikan yang tidak memenuhi syarat, sebagai contoh
tidak ada fasilitas air bersih di tempat pelelangan ikan. Tata ruang dan
kondisi kontruksi tempat pelelangan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Kesadaran
nelayan sendiri yang tidak mematuhi atauran akibat kekurangtahuan mereka
mengenai hakekat diadakan pelelangan ikan.
Pembinaan
yang dilakukan oleh instansi seperti Dinas Perikanan dan Dinas Koperasi
terhadap pelelangan sangat kurang sehingga terkesan pelelangan dijalankan
seadanya. Sarana distribusi seperti mobil yang berpendingin tidak ada sehingga
mutu ikan yang dijual dari tempat pelelangan ikan untuk kemudian didistribusikan
ke konsumen mutunya menurun.
Berdasarkan
rumusan permasalahan diatas maka penyelenggaraan pelelangan ikan memiliki sasaran
:
(1) Meningkatkan pendapatan nelayan
(2) Meningkatkan eksistensi pelelangan ikan
(3) Menigkatkan Kelayakan TPI
(4)
Meningkatkan fungsi TPI
(5)
Meningkatkan aplikasi aturan pelelangan ikan
Masalah yang
dianalisis adalah pelelangan ikan yang kasusnya terjadi di tempat pelelangan
ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu.
Kajian apakah
pelelangan ikan itu diperlukan atau tidak, akan ditinjau dari berbagai aspek
diantaranya aspek ekonomi dan aspek sosial-budaya. Tinjauan aspek ekonomi
diarahkan kepada keuntungan yang didapat nelayan apabila mengikuti pelelangan
ikan, aspek sosial dibahas masalah sosial atau hubungan yang terjadi diantara
nelayan akibat adanya aktivitas pelelangan ini, aspek budaya dikaji adanya
pelelangan ikan apakah terjadi perubahan tingkah laku mereka dalam dunia
perikanan.
Persyaratan konstruksi dan kelengkapan
konstruksi di TPI adalah
·
Lantai
TPI memiliki kemiringan 2 % agar benda cair segera meluncur/mengalir ke saluran
drainase.
·
Bangunan
TPI bentuknya terbuka dan bebas cahaya dan udara masuk.
·
Dipinggir/ditiang
TPI dipasang kran air agar memudahkan dalam pencucian ikan atau lantai TPI.
·
Penerangan
TPI secukupnya .
·
Dinding
TPI dari keramik agar mudah dibersihkan.
·
Sepanjang/sekeliling TPI dibuat pagar dan ada pintu agar tidak semua
bisa masuk kedalam TPI.
·
Diruang TPI disediakan
tempat-tempat sampah
TPI yang telah dibangun di PPN
Pelabuhanratu konstruksi memiliki kelayakan sebagai berikut :
·
Luas
TPI 900 m2, terdiri dari ruang sortir, ruang lelang dan ruang pengepakan.
Kondisi ini sudah sesuai dengan kapasitas ruang uang dapat menampung 50 ton
ikan setiap harinya.
·
Lantai
TPI memiliki kemiringan 2 %. Kondisi ini sudah sesuai persyaratan yang
ditetapkan yakni 2 % guna memperlancar zat cair mengalir ke saluran pembuangan.
·
Dilengkapi
saluran air. Kondisi ini sudah sesuai dengan rencana, namun saluran air ini
tidak baik pembuangannya ke kolam pelabuhan yang seharusnya harus dialihkan ke
bak penampungan air kotor.
·
Air
bersih tidak berfungsi karena air dari PDAM tidak mengalir ke TPI. Hal ini
terjadi karena kondisi PDAM sering tidak mengalir. Untuk masa yang akan datang
akan diupayakan air dari sumur dalam.
·
Untuk
membersihkan lantai digunakan air laut yang dialirkan dengan menggunakan pompa
genset. Kondisi ini sebetulnya tidak baik, untuk masa yang akan datang
diupayakan dari air tawar.
·
Didalam
TPI ada bak sampah.Kondisi ini sudah sesuai rencana.
·
Disediakan
penerangan yang cukup dari PLN.Kondisi ini sudah sesuai rencana.
·
Disediakan
timbangan yang dapat digunakan nelayan secara bebas. Kondisi ini sudah sesuai
rencana, namun sering dipermainkan sehingga sering rusak.
·
Dinding
TPI adalah keramik.Sudah sesuai rencana.
·
Disediakan
gerobak dorong.Sudah sesuai rencana.
Pelelangan diatur pertama kali dalam Peraturan Pemerintah No.64/1957
tentang penyerahan sebagian dari urusan pemerintah pusat dilapangan perikanan
laut, kehutanan dan karet rakyat kepada daerah-daerah swatantra tingkat I.
Didalam PP ini diatur pelelangan ikan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Untuk daerah Jawa Barat berlaku Peraturan
Daerah Propinsi Dati Jawa Barat No 15/1984 tentang penyelenggaraan pelelangan
ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai
penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang.
Kemudian Pemerintah Pusat melalui Keputusan
Bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri serta Menteri
Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No. 139/1997, 902/kpts/pi-402/9/97 dan
03.SKB/M/IX/1997 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan.
Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa
Barat mengeluarkan Perda No 10/1998 tentang penyelenggaraan pelelangan ikan dan
Perda No 11/1998 tentang retribusi pasar grosir. Kemudian Gubernur mengeluarkan
juklaknya No 4 dan No 5/2001.
Kelemahan
yang ditemui didalam Perda dan Juklak yang dikeluarkan oleh Gubernur diatas
adalah:
·
Banyak
ikan-ikan yang tidak dilelang dengan alasan yang diperbolehkan aturan seperti
ikan yang tidak dilelang adalah ikan yang dipergunakan untuk lauk pauk, hasil
olah raga dan penelitian. Kejadian ini terjadi karena petugas dan masyarakat
tidak mengetahui aturan pelelangan ikan, sehingga sosialisasi aturan sangat
diperlukan.
·
Penunjukan
KUD Mina sebagai penyelenggara lelang terkesan monopoli dan diskriminitif.
Padahal banyak KUD Mina yang tidak mengakar kepada nelayan dan tidak sehat. Sehingga Perda tersebut perlu dirubah sehingga tidak terkesan
monopoli.
·
Berdasarkan Otda sebaiknya
Perda Pelelangan Ikan dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, karena
merekalah yang punya daerah dan merekalah yang mengendalikan dan mengawasinya.
·
Denda hanya Rp 50.000 atau
kurungan 3 bulan sangat rendah dan tidak setimpal terhadap pelanggaran yang
dilakukannya, sehingga aturan ini tidak berjalan efektif dilapangan. Perda ini
perlu direvisi dengan denda dan kurungan yang cukup memadai sehingga pelaku
jera melakukan kesalahan.
·
Besar retribusi 5 % diambil
dari nelayan 2 % dan pembeli 3 %, kemudian diperuntukan bagi biaya lelang 2 %
(biaya penyelenggaraan dan administrasi sebesar 80 %, dana paceklik 5 %, dana
sosial, kecelakaan di laut dan asuransi nelayan 5 %, dana tabungan nelayan 5 %
dan biaya pengamanan 5 %).Sedangkan yang 3 %
lagi dibagi untuk Pemda Tk I 2 %
dan 1 % biaya operasional dan pemeliharaan pasar grosir . Kelemahannya adalah
bahwa uang tersebut penggunaannya tidak jelas, tidak diaudit/diperiksa sehingga kepentingan
nelayan terabaikan. Oleh karena itu pengawasan dan pengendalian penggunaan uang
retribusi ini perlu ditingkatkan.Selain itu apabila aktivitas volume lelangnya
kecil, maka biaya operasional lelang yang diperoleh KUD sangat kecil.
·
Seringkali uang retribusi yang
disetor ke Pemda Tk I tidak disalurkan ke Pemda Tk II.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat
Jenderal Perikanan, 1981. Standar Rencana Induk dan Pokok-Pokok Desain untuk Pelabuhan Perikanan dan
Pangkalan Pendaratan Ikan.
Mahyuddin, B. 2001. Peranan Pelelangan Ikan Dalam
Meningkatkan Pendapatan Nelayan (Kasus
Pelelangan Ikan Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu). Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana / S3. Institut
Pertanian Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar