Kamis, 26 September 2013

PENTINGNYA PELELANGAN IKAN DARI SEGI EKONOMI

Pengertian pelelangan ikan
Pelelangan ikan merupakan suatu kegiatan dimana penjual dan pembeli bertemu dalam satu tempat (gedung TPI), didalamnya terjadi proses tawar-menawar harga ikan sehingga diperoleh harga yang mereka sepakati bersama. Dalam proses tawar menawar ini, kualitas ikan akan memegang peranan penting dalam penentuan harga. Pembeli akan memberikan penawaran yang lebih tinggi terhadap ikan yang memiliki kualitas lebih baik. Meskipun pada awalnya nelayan yang akan mengajukan harga terlebih dahulu “melalui” petugas lelang.
      Aktivitas pelelangan ikan di TPI merupakan salah satu aktivitas di suatu pelabuhan perikanan yang termasuk dalam kelompok aktivitas yang berhubungan dengan pendaratan dan pemasaran ikan. Pelelangan ikan memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pemasaran ikan.  Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan di tempat pelelangan ikan guna mempertemukan penjual dan pembeli sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang disepakati bersama.  Pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai tata niaga ikan (Mahyuddin, 2001).
      Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak pada sektor pemasaran hasil tangkapan nelayan. TPI diharapkan memiliki peranan yang penting di dalam membantu memasarkan hasil perikanan, terutama apabila hasil tangkapan yang didaratkan relatif banyak. Penjualan menjadi teratur dan cepat dibandingkan bila nelayan menjual secara individu. Selain itu, TPI juga seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi nelayan dalam hal permainan harga yang bisa dilakukan para pedagang. Dengan adanya sistem pelelangan maka dapat memungkinkan seluruh hasil tangkapan nelayan terjual habis, tanpa menunggu. Keuntungan lain yang dapat diperoleh nelayan dengan keberadaan TPI adalah dengan pengarahan yang diberikan TPI melalui kewajiban simpanan untuk setiap penjualan yang dilakukan.
      Tetapi pada kenyataannya tidak semua nelayan merasakan fungsi dari TPI. Sebagian nelayan merasa bahwa TPI tidak memberikan rasa untung bagi mereka. Salah satunya disebabkan oleh adanya wajib pajak yang dikenakan pada nelayan, sementara hasil tangkapan para nelayan relatif sedikit dan apabila dikenakan biaya retribusi maka keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Kerugian lainnya adalah pada saat hasil tangkapan para nelayan dalam kondisi baik, maka para nelayan tidak dapat menentukan harga sendiri untuk itu. Harga pelelangan tergantung dari harga pasar dan kerugian juga dapat terjadi jika adanya permainan antara juru lelang dengan para pedagang (mubyarto dkk, 1984 dalam silalahi, david g 2006)
       TPI sebagai salah satu tempat pelelangan ikan masih mengutamakan pengumpulan dana dan retribusi. Sebenarnya, tujuan utama TPI dibentuk adalah:
1.    Melibatkan tiga pihak yaitu nelayan, pedagang dan pemerintah daerah
2.    Pemerintah daerah sebagai penyelenggara dan pemungut retribusi
3. Pemerintah daerah juga berperan sebagai wadah keseimbangan antara penawaran dan permintaan melalui persaingan yang wajar sehingga harga ikan akan menjadi baik 
Dengan demikian kelembagaan TPI pada dasarnya memiliki tujuan untuk melindungi para nelayan yang seringkali berada pada posisi yang lemah dalam menghadapi pedagang atau tengkulak yang jumlahnya lebih sedikit. Hanya saja banyak TPI yang belum menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Dari keadaan tersebut, banyak anggapan bahwa fungsi kelembagaan TPI sebagai media pengumpul bea lelang lebih dominan dibandingkan dengan fungsinya sebagai lembaga pemasaran yang ikut melancarkan arus pemasaran ikan dari para nelayan ke pengolah, pedangang, atau konsumen. Dengan demikian tpi sebagai lembaga yang berfungsi untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui perbaikan harga belum dirasakan oleh nelayan.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan berbagai perubahan pada kelembagaan tpi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anwar (1985) dimana pada masa tersebut terdapat kesenjangan antara kelembagaan yang dikembangkan oleh pihak atas desa dan kelembagaan tradisional yang telah berakar kuat sejak lama pada masyarakat sehingga belum terintegrasinya kelembagaan TPI dalam kebudayaan masyarakat. Pembangunan kelembagaan dalam masyarakat nelayan belum dapat terlaksana sesuai dengan harapan baik oleh karena unsure kelembagaan yang membutuhkan waktu yang cukup lama bagi pengembangannnya maupun karena cukup kuatnya kelembagaan yang ada. Norma-norma baru yang berkenaan dengan kelembagaan baru sulit diterima oleh masyarakat.   
Kegiatan pelelangan, sebenarnya diarahkan pada keadaan pasar monopolistik. Dimana hanya ada satu penjual (para nelayan diwakili  petugas lelang) dan terdapat banyak pembeli. Dengan kondisi demikian, maka nelayan akan mempunyai dampak positif berupa bargaining power yang tinggi, sehingga akan membuat nilai jual ikan menjadi tinggi. Keadaan ini akan  berimplikasi pada pendapatan nelayan yang tinggi pula. Namun, karena pelaku pelelangan (pengelola TPI, nelayan, dan pembeli) tidak menyadari hal ini, maka pelelangan di PPN Palabuhanratu ataupun pelabuhan perikanan lainnya tidak berjalan secara optimal. Bahkan sebagian nelayan memandang bahwa pelelangan tidak berdampak positif bagi mereka. Adanya retribusi pelelangan yang dibebankan kepada nelayan, juga membuat mereka merasa terbebani. Padahal jika ditinjau, retribusi tersebut diberlakukan dengan maksud yang baik. Retribusi hasil pelelangan akan dialokasikan dengan jumlah tertentu untuk pendapatan daerah, pelabuhan itu sendiri, dan sebagai ‘modal kerja’ bagi pihak pengelolan pelelangan (Aziz 2009).
Selain masalah diatas, ketersediaan jumlah trays yang tidak cukup menimbulkan permasalahan bagi nelayan pada waktu pelelangan. Dalam pelaksanaan lelang, berdasarkan kunjungan ke beberapa pelabuhan perikanan seperti PPN Pekalongan, jumlah trays yang digunakan dalam penyelenggaraan lelang bisa lebih dari puluhan trays.  Dengan sistem bergilir/bergantian yang diberlakukan dalam lelang, maka nelayan yang mendapatkan undian paling akhir menggunakan trays dengan waktu tunggu yang lama akan mengalami penurunan mutu pada ikannya.  Penurunan mutu ini sebenarnya bisa berasal dari awal penangkapan ikan di laut dimana nelayan tidak memperhatikan proses penanganan ikan dengan baik.  Hal ini akan membuat harga ikan hasil tangkapan menjadi turun.  Selain itu, pelelangan yang ada di beberapa pelabuhan perikanan,  seperti di PPN Pekalongan, PPN Palabuhanratu belum dihadiri oleh banyak pengusaha/pedagang pembeli, kalaupun ada jumlahnya masih sangat terbatas.  Keadaan ini membuat  pemasaran menjadi kurang kompetitif, dan jika demikian maka pelabuhan perikanan sukar berkembang (Pane 2009b).
Belum cukup ada kesadaran dari masing-masing pihak terutama nelayan mengenai penyelenggaraan lelang.  Masih banyak yang belum memahami secara utuh arti dari pelelangan.  Pemerintah yang seharusnya mampu mengarahkan pelelangan pada arti sebenarnya juga masih belum berperan banyak.  Dalam retribusi yang diambil dari nelayan sebesar 3%, terdapat dana paceklik yang merupakan simpanan nelayan, yang seharusnya disimpan untuk kemudian diberikan kembali kepada nelayan saat musim paceklik tiba, namun dana tersebut masih belum bermanfaat bagi para nelayan karena penarikan retribusi tersebut tidak di audit (Mahyuddin 2001). Tidak jarang uang retribusi itu lenyap atau tidak diketahui penggunaannya dan nelayan tidak merasakan manfaatnya.

Retribusi 
Bagi nelayan yang menjual hasil tangkapannya di TPI dikenakan retribusi sebesar 5% dari hasil penjualannya, dan bagi bakul sebesar 3% dari nilai yang dibelinya. Retribusi bagi nelayan sebesar 5% ini dikenal dengan ongkos lelang, dibagi menjadi beberapa bagian peruntukan, yaitu
1.    1% pelabuhan perikanan dana pembinaan, pemeliharaan dan pengawasan TPI
2.    1.5% biaya operasional TPI
3.    1% dana tabungan nelayan
4.    0.5% dana paceklik
5.    0.5% dana sosial atau kecelakaan di laut
Ongkos lelang yang ditarik dari bakul, setelah dikurangi dana peningkatan pelayanan sebesar 50% digunakan untuk pemerintah propinsi daerah tingkat I jabar dan 50% digunakan untuk pemerintah kabupaten daerah tingkat I Sukabumi.
Retribusi sebesar 1% yang digunakan untuk tabungan nelayan diterima kembali oleh nelayan setiap tahunnya menjelang lebaran. Biasanya jumlahnya cukup besar, tetapi masih saja dirasakan kurang sehingga nelayan meminjam kepada pengijon. Kebudayaan  berlebaran secara berlebihan kemungkinan merupakan penyebab hal ini terjadi.
Selain itu retribusi digunakan untuk dana social kecelakaan di laut dan dana paceklik masing2 5%. Dana ini dapat digunakan oleh nelayan pada saat paceklik dan apabila terjadi kecelakaan di laut.

Keefektifan Harga di TPI

          Kondisi pelelangan di TPI palabuhanratu sudah memenuhi persyaratan pembentukan harga yang efektif pada lelang (lihat tinpus Muelenberg, 1992) yaitu:
1.    Pembeli atau bakul sudah mengetahui benar karakteristik ikan yang akan dibelinya, rata2 bakul sudah sangat berpengalaman, yaitu 14 orang dengan pengalaman 5 tahun (45%), 11 orang dengan pengalaman antara 3-5 tahun (35.5%) dan 6 orang dengan pengalaman antara 1-3 tahun (19.5%). Mereka mengetahui jenis, mutu, ukuran, dan karakteristik lain dari ikan hasil tangkapan yang dijual.
2.    Bakul sangat berminat terhadap ikan hasil tangkapan yang dijual di TPI, karena TPI memberikan fasilitas pengepakan yang memadai seperti es curah, garam, pekerja (TKBM), juga keamanan yang terjamin. Selain itu mereka sulit untuk membeli ikan diluar TPI karena pengawasan yang ketat dan kecenderungan nelayan yang semakin enggan untuk menjual hasil tangkapannya di luar TPI, karena harga diluar TPI seringkali rendah dan apabila tinggipun, maka biaya ‘siluman’ juga tinggi.
3.    Lelang ikan di palabuhanratu mempunyai pangsa pasar yang besar, karena palabuhanratu merupakan sentra produksi ikan dan kewajiban untuk menjual ikan secara lelang.

Penyelenggaraan pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu
Kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang.  Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan.  Pemegang izin penyelenggaraan pelelangan ikan selanjutnya tertera dalam Perda Jabar No 5 Tahun 2005 di bawah ini :
BAB III
IZIN PENYELENGGARAAN PELELANGAN IKAN
Pasal 5
(1)
Penyelenggara pelelangan ikan harus memiliki izin dari gubernur;
(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat;
(3)
Jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota.

Tata cara permohonan bagi KUD yang hendak menyelenggarakan pelelangan ikan selanjutnya diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No 13 Tahun 2006 seperti yang tertera dibawah ini :
BAB V
TATA CARA PERMOHONAN, PERSYARATAN, PERPANJANGAN, PENOLAKAN DAN PENCABUTAN IZIN
Pasal 10
(1)      KUD Mina yang akan menyelenggarakan pelelangan ikan, mengajukan permohonan izin kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan mengajukan formulir PI. 1, tembusannya disampaikan kepada PUSKUD Mina dan Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan dilampiri :
a)     Fotokopi surat keputusan pengesahan badan hukum, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
b)     Susunan kepengurusan KUD Mina dan daftar calon pegawai TPI;
c)     Neraca akhir yang disahkan oleh pejabat berwenang;
d)     Data potensi unit penangkapan ikan, nelayan, dan pembeli/bakul berdasarkan klasifikasi kegiatan usahanya;
e)     Surat pernyataan kesanggupan menaati segala ketentuan yang berlaku di atas kertas bermaterai cukup.
(2)      Ketua PUSKUD Mina dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan, memberikan pertimbangan atas permohonan yang diajukan KUD Mina paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah menerima tembusan surat permohonan;
(3)      Untuk TPI yang belum dikelola oleh KUD Mina, permohonan izin diajukan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan menggunakan formulr model PI. 1, tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dilampiri :
a)     Daftar pegawai TPI;
b)     Data potensi nelayan dan pembeli/bakul berdasarkan klasifikasi kegiatan usahanya;
c)     Data potensi unit penangkapan ikan.

(4)      Bupati/Walikota yang bersangkutan memberikan pertimbangan atas permohonan izin yang diajukan oleh Dinas Kabupaten/Kota paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah menerima surat permohonan sebagaimana dimaksud ayat (3);
(5)      Untuk permohonan izin yang memenuhi persyaratan, dan setelah memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh pejabat/instansi pemberi pertimbangan Kepala Dinas menerbitkan surat izin dengan menggunakan formulir model PI. 4 paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak surat permohonan diterima.

Retribusi Pelelangan Ikan
Mekanisme pemasaran melalui pelelangan ikan memiliki beberapa prosedur/tata cara yang harus dipatuhi oleh nelayan dan pembeli yang ikut serta dalam lelang ikan tersebut, salah satunya adalah pembayaran retribusi pelelangan ikan.  Retribusi diperlukan agar dapat menjamin keberlangsungan aktivitas lelang ikan.  Retribusi merupakan pembayaran aktif sejumlah uang yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak pengelola sebagai bentuk pungutan timbal balik atas pelayanan yang diperoleh.  Retribusi dibayarkan secara langsung agar dapat memenuhi kebutuhan dalam menjalankan aktivitasnya sehingga manfaat dari adanya retribusi juga bisa dirasakan langsung.  Retribusi lebih spesifik ditujukan kepada orang-orang tertentu yang mendapatkan pelayanan tertentu pula. Dampak adanya retribusi dapat dirasakan langsung oleh pihak nelayan maupun pihak lain yang mengelola pelelangan ikan, sehingga Retribusi Penyelenggaraan Pelelangan Ikan dikelompokkan kepada Retribusi Pasar Grosir yang merupakan jenis retribusi jasa usaha (Dispenda, 2008).
Selanjutnya dikatakan bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, retribusi yang dapat di sebut sebagai Pajak Daerah yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah.
Besar retribusi pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu
Kebijakan tentang retribusi pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu adalah Peraturan Daerah Provinsi Dati I Jawa Barat No 5/2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang.  Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Pemda Jawa Barat, 2005).
Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 menetapkan besarnya tarif retribusi  sebesar 5% (lima persen) dari harga nilai transaksi yang dibebankan kepada pembeli/bakul 3% (tiga persen) dan kepada penjual/nelayan sebesar 2% (dua persen).  Penggunaan retribusi diatur sebagai berikut :
(a) Penerimaan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar   1,60% (satu koma enam puluh persen) terdiri dari:
1)   Pemerintah Daerah sebesar 0,60% (nol koma enam puluh persen);
2)   Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar 1% (satu persen).
(b) Biaya operasional dan pemeliharaan TPI sebesar 0,80% (nol koma delapan puluh persen) terdiri dari:
1)   Biaya pembinaan/pengawasan oleh Pemerintah Daerah (Provinsi) sebesar  0,15% (nol  koma lima belas persen);
2)  Biaya pembinaan/pengawasan oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);
3)   Biaya pembangunan Daerah Perikanan sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen);
4)  Biaya operasional PUSKUD Mina dan DPD HNSI Provinsi Jawa Barat sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);
5)   Biaya pemeliharaan TPI sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen).
(c)Biaya penyelenggaraan dan administrasi pelelangan ikan sebesar 1,65% (satu koma enam puluh lima persen).
(d)Dana-dana nelayan sebesar 0,80% (nol koma delapan puluh persen) terdiri dari:
1)  Tabungan nelayan sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen);
2)  Asuransi nelayan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);
3)  Dana paceklik sebesar 0,20% (nol koma dua puluh persen);
4) Dana sosial (penanggulangan darurat kecelakaan di laut) sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen).
(e) Biaya bantuan keamanan dan kas desa sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) terdiri dari:
1)  Biaya keamanan sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen);
2)  Dana bantuan kas desa sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar