Pengertian pelelangan
ikan
Pelelangan ikan
merupakan suatu kegiatan dimana penjual dan pembeli bertemu dalam satu tempat
(gedung TPI), didalamnya terjadi proses tawar-menawar harga ikan sehingga
diperoleh harga yang mereka sepakati bersama. Dalam proses tawar menawar ini,
kualitas ikan akan memegang peranan penting dalam penentuan harga. Pembeli akan
memberikan penawaran yang lebih tinggi terhadap ikan yang memiliki kualitas
lebih baik. Meskipun pada awalnya nelayan yang akan mengajukan harga terlebih
dahulu “melalui” petugas lelang.
Aktivitas
pelelangan ikan di TPI merupakan salah satu aktivitas di suatu pelabuhan
perikanan yang termasuk dalam kelompok aktivitas yang berhubungan dengan
pendaratan dan pemasaran ikan. Pelelangan ikan memiliki peran yang cukup
penting untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pemasaran ikan. Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan di
tempat pelelangan ikan guna mempertemukan penjual dan pembeli sehingga terjadi
tawar-menawar harga ikan yang disepakati bersama. Pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai
tata niaga ikan (Mahyuddin, 2001).
Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak pada sektor pemasaran hasil
tangkapan nelayan. TPI diharapkan memiliki peranan yang penting di dalam
membantu memasarkan hasil perikanan, terutama apabila hasil tangkapan yang
didaratkan relatif banyak. Penjualan menjadi teratur dan cepat dibandingkan
bila nelayan menjual secara individu. Selain itu, TPI juga seharusnya dapat
memberikan perlindungan bagi nelayan dalam hal permainan harga yang bisa
dilakukan para pedagang. Dengan adanya sistem pelelangan maka dapat
memungkinkan seluruh hasil tangkapan nelayan terjual habis, tanpa menunggu.
Keuntungan lain yang dapat diperoleh nelayan dengan keberadaan TPI adalah
dengan pengarahan yang diberikan TPI melalui kewajiban simpanan untuk setiap
penjualan yang dilakukan.
Tetapi pada kenyataannya tidak semua
nelayan merasakan fungsi dari TPI. Sebagian nelayan merasa bahwa TPI tidak
memberikan rasa untung bagi mereka. Salah satunya disebabkan oleh adanya wajib
pajak yang dikenakan pada nelayan, sementara hasil tangkapan para nelayan
relatif sedikit dan apabila dikenakan biaya retribusi maka keuntungan yang
diperoleh sangat kecil. Kerugian lainnya adalah pada saat hasil tangkapan para
nelayan dalam kondisi baik, maka para nelayan tidak dapat menentukan harga
sendiri untuk itu. Harga pelelangan tergantung dari harga pasar dan kerugian
juga dapat terjadi jika adanya permainan antara juru lelang dengan para
pedagang (mubyarto dkk, 1984 dalam silalahi, david g 2006)
TPI sebagai salah satu tempat
pelelangan ikan masih mengutamakan pengumpulan dana dan retribusi. Sebenarnya,
tujuan utama TPI dibentuk adalah:
1. Melibatkan tiga pihak yaitu nelayan,
pedagang dan pemerintah daerah
2. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara
dan pemungut retribusi
3. Pemerintah daerah juga berperan sebagai
wadah keseimbangan antara penawaran dan permintaan melalui persaingan yang
wajar sehingga harga ikan akan menjadi baik
Dengan demikian kelembagaan TPI pada dasarnya memiliki
tujuan untuk melindungi para nelayan yang seringkali berada pada posisi yang
lemah dalam menghadapi pedagang atau tengkulak yang jumlahnya lebih sedikit.
Hanya saja banyak TPI yang belum menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Dari
keadaan tersebut, banyak anggapan bahwa fungsi kelembagaan TPI sebagai media
pengumpul bea lelang lebih dominan dibandingkan dengan fungsinya sebagai
lembaga pemasaran yang ikut melancarkan arus pemasaran ikan dari para nelayan
ke pengolah, pedangang, atau konsumen. Dengan demikian tpi sebagai lembaga yang
berfungsi untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui perbaikan harga belum
dirasakan oleh nelayan.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan berbagai perubahan
pada kelembagaan tpi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anwar (1985) dimana
pada masa tersebut terdapat kesenjangan antara kelembagaan yang dikembangkan
oleh pihak atas desa dan kelembagaan tradisional yang telah berakar kuat sejak
lama pada masyarakat sehingga belum terintegrasinya kelembagaan TPI dalam
kebudayaan masyarakat. Pembangunan kelembagaan dalam masyarakat nelayan belum
dapat terlaksana sesuai dengan harapan baik oleh karena unsure kelembagaan yang
membutuhkan waktu yang cukup lama bagi pengembangannnya maupun karena cukup
kuatnya kelembagaan yang ada. Norma-norma baru yang berkenaan dengan
kelembagaan baru sulit diterima oleh masyarakat.
Kegiatan pelelangan,
sebenarnya diarahkan pada keadaan pasar monopolistik. Dimana hanya ada satu
penjual (para nelayan diwakili petugas
lelang) dan terdapat banyak pembeli. Dengan kondisi demikian, maka nelayan akan
mempunyai dampak positif berupa bargaining
power yang tinggi, sehingga akan membuat nilai jual ikan menjadi tinggi.
Keadaan ini akan berimplikasi pada
pendapatan nelayan yang tinggi pula. Namun, karena pelaku pelelangan (pengelola
TPI, nelayan, dan pembeli) tidak menyadari hal ini, maka pelelangan di PPN
Palabuhanratu ataupun pelabuhan perikanan lainnya tidak berjalan secara
optimal. Bahkan sebagian nelayan memandang bahwa pelelangan tidak berdampak
positif bagi mereka. Adanya retribusi pelelangan yang dibebankan kepada
nelayan, juga membuat mereka merasa terbebani. Padahal jika ditinjau, retribusi
tersebut diberlakukan dengan maksud yang baik. Retribusi hasil pelelangan akan
dialokasikan dengan jumlah tertentu untuk pendapatan daerah, pelabuhan itu
sendiri, dan sebagai ‘modal kerja’ bagi pihak pengelolan pelelangan (Aziz
2009).
Selain masalah diatas,
ketersediaan jumlah trays yang tidak
cukup menimbulkan permasalahan bagi nelayan pada waktu pelelangan. Dalam
pelaksanaan lelang, berdasarkan kunjungan ke beberapa pelabuhan perikanan
seperti PPN Pekalongan, jumlah trays
yang digunakan dalam penyelenggaraan lelang bisa lebih dari puluhan trays.
Dengan sistem bergilir/bergantian yang diberlakukan dalam lelang, maka
nelayan yang mendapatkan undian paling akhir menggunakan trays dengan waktu
tunggu yang lama akan mengalami penurunan mutu pada ikannya. Penurunan mutu ini sebenarnya bisa berasal
dari awal penangkapan ikan di laut dimana nelayan tidak memperhatikan proses
penanganan ikan dengan baik. Hal ini
akan membuat harga ikan hasil tangkapan menjadi turun. Selain itu, pelelangan yang ada di beberapa
pelabuhan perikanan, seperti di PPN
Pekalongan, PPN Palabuhanratu belum dihadiri oleh banyak pengusaha/pedagang
pembeli, kalaupun ada jumlahnya masih sangat terbatas. Keadaan ini membuat pemasaran menjadi kurang kompetitif, dan jika
demikian maka pelabuhan perikanan sukar berkembang (Pane 2009b).
Belum cukup ada
kesadaran dari masing-masing pihak terutama nelayan mengenai penyelenggaraan
lelang. Masih banyak yang belum memahami
secara utuh arti dari pelelangan.
Pemerintah yang seharusnya mampu mengarahkan pelelangan pada arti
sebenarnya juga masih belum berperan banyak.
Dalam retribusi yang diambil dari nelayan sebesar 3%, terdapat dana
paceklik yang merupakan simpanan nelayan, yang seharusnya disimpan untuk
kemudian diberikan kembali kepada nelayan saat musim paceklik tiba, namun dana
tersebut masih belum bermanfaat bagi para nelayan karena penarikan retribusi
tersebut tidak di audit (Mahyuddin 2001). Tidak jarang uang retribusi itu
lenyap atau tidak diketahui penggunaannya dan nelayan tidak merasakan
manfaatnya.
Retribusi
Bagi
nelayan yang menjual hasil tangkapannya di TPI dikenakan retribusi sebesar 5%
dari hasil penjualannya, dan bagi
bakul sebesar 3% dari nilai yang dibelinya. Retribusi bagi nelayan sebesar 5%
ini dikenal dengan ongkos lelang, dibagi menjadi beberapa bagian peruntukan,
yaitu
1. 1% →pelabuhan
perikanan → dana
pembinaan, pemeliharaan dan pengawasan TPI
2. 1.5% → biaya
operasional TPI
3. 1% → dana
tabungan nelayan
4. 0.5% → dana
paceklik
5. 0.5% →dana
sosial atau kecelakaan di laut
Ongkos
lelang yang ditarik dari bakul, setelah dikurangi dana peningkatan pelayanan
sebesar 50% digunakan untuk pemerintah propinsi daerah tingkat I jabar dan 50%
digunakan untuk pemerintah kabupaten daerah tingkat I Sukabumi.
Retribusi
sebesar 1% yang digunakan untuk tabungan nelayan diterima kembali oleh nelayan
setiap tahunnya menjelang lebaran. Biasanya jumlahnya cukup besar, tetapi masih
saja dirasakan kurang sehingga nelayan meminjam kepada pengijon.
Kebudayaan berlebaran secara berlebihan
kemungkinan merupakan penyebab hal ini terjadi.
Selain
itu retribusi digunakan untuk dana social kecelakaan di laut dan dana paceklik
masing2 5%. Dana ini dapat digunakan oleh nelayan pada saat paceklik dan
apabila terjadi kecelakaan di laut.
Keefektifan
Harga di TPI
Kondisi pelelangan di TPI palabuhanratu sudah memenuhi
persyaratan pembentukan harga yang efektif pada lelang (lihat tinpus
Muelenberg, 1992) yaitu:
1. Pembeli
atau bakul sudah mengetahui benar karakteristik ikan yang akan dibelinya, rata2
bakul sudah sangat berpengalaman, yaitu 14 orang dengan pengalaman 5 tahun
(45%), 11 orang dengan pengalaman antara 3-5 tahun (35.5%) dan 6 orang dengan
pengalaman antara 1-3 tahun (19.5%). Mereka mengetahui jenis, mutu, ukuran, dan
karakteristik lain dari ikan hasil tangkapan yang dijual.
2. Bakul
sangat berminat terhadap ikan hasil tangkapan yang dijual di TPI, karena TPI
memberikan fasilitas pengepakan yang memadai seperti es curah, garam, pekerja
(TKBM), juga keamanan yang terjamin. Selain itu mereka sulit untuk membeli ikan
diluar TPI karena pengawasan yang ketat dan kecenderungan nelayan yang semakin
enggan untuk menjual hasil tangkapannya di luar TPI, karena harga diluar TPI
seringkali rendah dan apabila tinggipun, maka biaya ‘siluman’ juga tinggi.
3. Lelang
ikan di palabuhanratu mempunyai pangsa pasar yang besar, karena palabuhanratu
merupakan sentra produksi ikan dan kewajiban untuk menjual ikan secara lelang.
Penyelenggaraan pelelangan ikan di
PPN Palabuhanratu
Kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan pelelangan
ikan di PPN Palabuhanratu adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5
Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, yakni
mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara
lelang dan besarnya retribusi lelang.
Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan
Retribusi Tempat Pelelangan Ikan.
Pemegang izin penyelenggaraan pelelangan ikan selanjutnya tertera dalam
Perda Jabar No 5 Tahun 2005 di bawah ini :
BAB III
IZIN PENYELENGGARAAN PELELANGAN IKAN
Pasal 5
(1)
|
Penyelenggara
pelelangan ikan harus memiliki izin dari gubernur;
|
(2)
|
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi
syarat;
|
(3)
|
Jika
pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat
diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota.
|
Tata cara permohonan bagi KUD yang hendak menyelenggarakan
pelelangan ikan selanjutnya diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No 13
Tahun 2006 seperti yang tertera dibawah ini :
BAB V
TATA CARA PERMOHONAN, PERSYARATAN, PERPANJANGAN, PENOLAKAN
DAN PENCABUTAN IZIN
Pasal 10
(1)
KUD
Mina yang akan menyelenggarakan pelelangan ikan, mengajukan permohonan izin
kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan mengajukan formulir PI. 1,
tembusannya disampaikan kepada PUSKUD Mina dan Dinas Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dengan dilampiri :
a)
Fotokopi
surat keputusan pengesahan badan hukum, anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga;
b)
Susunan
kepengurusan KUD Mina dan daftar calon pegawai TPI;
c)
Neraca
akhir yang disahkan oleh pejabat berwenang;
d)
Data
potensi unit penangkapan ikan, nelayan, dan pembeli/bakul berdasarkan
klasifikasi kegiatan usahanya;
e)
Surat
pernyataan kesanggupan menaati segala ketentuan yang berlaku di atas kertas
bermaterai cukup.
(2)
Ketua
PUSKUD Mina dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan, memberikan
pertimbangan atas permohonan yang diajukan KUD Mina paling lambat 6 (enam) hari
kerja setelah menerima tembusan surat permohonan;
(3)
Untuk
TPI yang belum dikelola oleh KUD Mina, permohonan izin diajukan oleh Kepala
Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas
dengan menggunakan formulr model PI. 1, tembusannya disampaikan kepada
Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dilampiri :
a)
Daftar
pegawai TPI;
b)
Data
potensi nelayan dan pembeli/bakul berdasarkan klasifikasi kegiatan usahanya;
c)
Data
potensi unit penangkapan ikan.
(4)
Bupati/Walikota
yang bersangkutan memberikan pertimbangan atas permohonan izin yang diajukan
oleh Dinas Kabupaten/Kota paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah menerima
surat permohonan sebagaimana dimaksud ayat (3);
(5)
Untuk
permohonan izin yang memenuhi persyaratan, dan setelah memperhatikan
pertimbangan yang diberikan oleh pejabat/instansi pemberi pertimbangan Kepala
Dinas menerbitkan surat izin dengan menggunakan formulir model PI. 4 paling
lambat 6 (enam) hari kerja sejak surat permohonan diterima.
Retribusi Pelelangan Ikan
Mekanisme pemasaran melalui pelelangan ikan memiliki
beberapa prosedur/tata cara yang harus dipatuhi oleh nelayan dan pembeli yang
ikut serta dalam lelang ikan tersebut, salah satunya adalah pembayaran
retribusi pelelangan ikan. Retribusi
diperlukan agar dapat menjamin keberlangsungan aktivitas lelang ikan. Retribusi merupakan pembayaran aktif sejumlah
uang yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak pengelola sebagai bentuk
pungutan timbal balik atas pelayanan yang diperoleh. Retribusi dibayarkan secara langsung agar
dapat memenuhi kebutuhan dalam menjalankan aktivitasnya sehingga manfaat dari
adanya retribusi juga bisa dirasakan langsung.
Retribusi lebih spesifik ditujukan kepada orang-orang tertentu yang
mendapatkan pelayanan tertentu pula. Dampak adanya retribusi dapat dirasakan
langsung oleh pihak nelayan maupun pihak lain yang mengelola pelelangan ikan,
sehingga Retribusi Penyelenggaraan Pelelangan Ikan dikelompokkan kepada
Retribusi Pasar Grosir yang merupakan jenis retribusi jasa usaha (Dispenda, 2008).
Selanjutnya dikatakan bahwa
retribusi adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai
yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak,
retribusi yang dapat di sebut sebagai Pajak Daerah yang dikelola oleh Dinas
Pendapatan Daerah.
Besar retribusi pelelangan ikan di
PPN Palabuhanratu
Kebijakan tentang retribusi pelelangan ikan di PPN
Palabuhanratu adalah Peraturan Daerah Provinsi Dati I Jawa Barat No 5/2005
tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, yakni mengatur
tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan
besarnya retribusi lelang. Selanjutnya
Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa
Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat
Pelelangan Ikan (Pemda Jawa Barat, 2005).
Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 menetapkan
besarnya tarif retribusi sebesar 5%
(lima persen) dari harga nilai transaksi yang dibebankan kepada pembeli/bakul
3% (tiga persen) dan kepada penjual/nelayan sebesar 2% (dua persen). Penggunaan retribusi diatur sebagai berikut :
(a) Penerimaan
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar 1,60% (satu koma enam puluh persen) terdiri
dari:
1) Pemerintah Daerah
sebesar 0,60% (nol koma enam puluh persen);
2) Pemerintah
Kabupaten atau Kota sebesar 1% (satu persen).
(b)
Biaya operasional dan pemeliharaan TPI sebesar 0,80% (nol koma delapan puluh
persen) terdiri dari:
1) Biaya pembinaan/pengawasan oleh Pemerintah
Daerah (Provinsi) sebesar 0,15%
(nol koma lima belas persen);
2) Biaya pembinaan/pengawasan oleh Pemerintah Kabupaten
atau Kota sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);
3) Biaya pembangunan Daerah Perikanan sebesar
0,10% (nol koma sepuluh persen);
4) Biaya operasional PUSKUD Mina dan DPD HNSI
Provinsi Jawa Barat sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);
5) Biaya
pemeliharaan TPI sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen).
(c)Biaya penyelenggaraan dan
administrasi pelelangan ikan sebesar 1,65% (satu koma enam puluh lima persen).
(d)Dana-dana nelayan sebesar 0,80% (nol
koma delapan puluh persen) terdiri dari:
1) Tabungan nelayan
sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen);
2) Asuransi nelayan
sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);
3) Dana paceklik
sebesar 0,20% (nol koma dua puluh persen);
4) Dana
sosial (penanggulangan darurat kecelakaan di laut) sebesar 0,10% (nol koma
sepuluh persen).
(e) Biaya bantuan keamanan dan kas desa
sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) terdiri dari:
1) Biaya keamanan
sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen);
2) Dana bantuan kas
desa sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar